0

We Are Us (part II)

II
Hidup Adalah Masalah, Hidup Adalah Anugrah

“Mister Gerard menggantikan tempat kapten dengan namaku,” kata Alex sambil mengunyah pizza-nya.
Neil mengerutkan kening. “Mister Gerard…pelatih klub atletik itu?” Alex mengangguk. “Jadi…kau kaptennya sekarang?”
“Belum bisa kupastikan sekarang,” gumam Alex sambil mengangkat bahu. “Tapi kalaupun benar, belum tentu bisa kuterima. Aku sudah grade 12 sekarang. Menurutmu aku bisa santai?”
Neil tertawa. “Jangan terus-terusan belajar. Santailah sedikit,” nasihatnya. “SMA seharusnya jadi masa yang paling berkesan dalam hidupmu. Jangan seperti aku, jangan buat kesalahan yang sama.”
“Menurutmu rantai A di raporku tidak berkesan?” Alex tertawa setengah mengejek.
“Bukan kesan yang seperti itu…” gumam Neil. “Entahlah, apa sebutannya? Kenakalan remaja?” Neil mengangkat bahu.
“Apa harus jadi nakal untuk menjadikan masa SMA berkesan?”
Neil mendesah. Lagi-lagi ia kalah. “Tidak harus nakal. Tapi…” Neil menerawang. “…mungkin kau harus punya cerita untuk anak dan cucumu nanti. Bagaimana kau melewati masa SMA-mu dengan perasaan senang…”
“Aku senang belajar. Jadi kurasa itu bukan masalah.”
Neil tertawa pelan. “Kau anak paling keras kepala yang pernah kutemui.”
Alex mengangkat bahu. “Sudah genetis sepertinya.”
Neil melempar pandangannya keluar jendela. Kosong.
“Neil?” Alex mengerutkan kening. “Neil!”
Neil segera terbangun dari lamunannya. “Ya?”
Alex mendengus. “Kau kenapa, sih?” gerutunya.
Neil tersenyum tipis. “Aku hanya berpikir…” gumamnya pelan. “…rasanya hidup kita terlalu sempurna,” katanya. Ia tertawa pelan. “Hidup itu anugrah, aku tahu,” sahut Neil begitu melihat adiknya akan bicara. “Tapi hidup juga masalah, bukan?” Neil mendesah. “Kalau terus-terusan begini, aku tidak tahu apa aku bisa bertahan kalau masalah tiba-tiba datang…”
Alex mengibaskan tangannya. “Kau pintar. Tidak ada masalah yang tidak bisa diatasi orang pintar,” katanya sambil berusaha membesarkan hati kakaknya. “Lagipula, jangan terlalu dipikirkan. Semua ada waktunya.”
“Kau yakin?”
Alex mengangguk. “Mm-hm.”

“Alex, telepon untukmu!” Neil berteriak dari bawah. Keduanya langsung pulang setelah berkeliling sebentar. Neil menonton TV di ruang keluarga, sementara Alex langsung mengurung dirinya di kamar. “Alex!!!”
“Ya, ya…” Alex menuruni tangganya malas. “Siapa?” tanyanya. Neil mengangkat bahu. “Ya? Dengan kantor kepolisian di sini.”
“Kantor kepolisian? Di sini kantor pemadam kebakaran.”
Alex mengerutkan kening. Kemudian ia tertawa terbahak-bahak. Ia mengenal suara itu. “Heather?” tebaknya. “Sudah kuduga itu kau,” katanya senang. “Siapa lagi yang bisa berkata seperti itu?”
Heather tertawa. Suaranya yang nyaring bahkan bisa didengar oleh Neil. Neil menggelengkan kepalanya sambil mendengus. “Neil ada di rumah sekarang?” tanya Heather.
Neil bukan tipe laki-laki populer. Tapi kalau ada seorang gadis yang menyukainya sepenuh hati, gadis itu pasti Heather. Gadis itu masih memiliki hubungan darah dengan keluarga Parker. Sepupu jauh, begitu kata Mrs Parker. Heather selalu mampir ke tempat Alex saat Neil pulang. Rumahnya memang hanya terpisah beberapa blok.
“Ehh…ya. Tadi dia mengangkat teleponmu, ‘kan?” kata Alex ragu.
Neil mengerutkan kening. “Heather?”
Alex mengangguk geli.
“Apa dia tidak mengenali suaraku lagi?” tanya Heather penasaran.
Alex tersenyum menggoda. “Kau mau bicara dengan Neil?”
Neil menggeleng cepat sambil membuat tanda silang dengan kedua tangannya. Keringat bercucuran dari keningnya. Kacamatanya melorot berkali-kali. Neil tidak suka dengan Heather, sudah jelas. Menurutnya, tidak seharusnya anak perempuan terlalu agresif seperti Heather.
“Bolehkah?” Suara Heather meninggi beberapa desibel, yang berarti rasa senangnya meluap-luap dan tidak bisa ditahan.
“Tentu saja boleh.” Alex menyerahkan telepon pada Neil. Kakaknya melotot galak tapi Alex hanya tertawa.
Neil terpaksa menerima telepon dari Heather.
Alex kembali naik ke kamarnya. Tiba-tiba ponselnya berdering. Alex mengangkatnya begitu tahu ibunya yang menelepon.
“Alex?”
“Ya, Bu?”
“Kau sedang menelepon?”
Alex tertawa pelan. “Tidak. Tapi Neil sedang ditelepon Heather,” katanya sambil terus tertawa. Alex biasa bercerita tentang apapun pada ibunya. Termasuk Heather yang menyukai Neil. Dan ibunya biasa tertawa bersamanya. Namun tidak untuk kali ini, Mrs Parker hanya diam. “Ibu?”
Mrs Parker mendesah panjang. Napasnya terdengar bergetar. Seperti menahan tangis.
“Ibu?” Alex mulai cemas. “Ibu baik-baik saja?”
“Ya, Alex. Ibu baik-baik saja…” desah Mrs Parker. “Kau mengerti kalau hidup ini anugrah ‘kan, Alex?” gumam Mrs Parker. Alex duduk di pinggir kasurnya. Perasaannya tidak enak. “Kau pasti menyadari hal itu ‘kan, Alex?”
“Ya, Bu. Tentu saja…” kata Alex ragu. “Ada apa sebenarnya?”
Mrs Parker kembali menghela napas.
“Kau keberatan kalau kita pindah rumah, Nak?”
Alex mengerutkan kening. “Tentu saja keberatan tapi kalau itu harus, kurasa tidak masalah. Kenapa?”
“Aku tidak tahu bagaimana menjelaskan ini padamu, Alex…” Kali ini Mrs Parker terisak. “Neil sudah dewasa, dia bisa mengerti dengan mudah…”
“Aku sudah grade 12, Bu. Aku bukan anak-anak lagi,” potong Alex. “Ada apa sebenarnya?” desak Alex.
“Kita akan pindah tiga hari lagi.”
“Eh? Kemana? Dan kenapa?”
“Kita akan pindah ke pinggir kota…” Mrs Parker menarik napas. “…karena ayahmu kehilangan pekerjaannya.”
“APA?!”

Alex mengepak barangnya, masih dengan wajah syok. Ia menatap kamarnya. Tiga hari lagi. Ya, tiga hari lagi dia akan meninggalkan kamarnya yang sangat ia sayangi. Juga lantai kayunya, kamar mandinya, seluruh bagian dari rumah itu adalah bagian dari hidupnya. Juga sekolahnya, teman-temannya, Heather, toko roti di seberang jalan, taman di belakang rumah, itu juga bagian dari hidupnya. Semua akan ia tinggalkan dalam waktu tiga hari. Relakah Alex? Tidak. Tapi dia bukan tipe anak yang akan merajuk untuk tetap tinggal dan menghancurkan hati keluarganya demi hidupnya. Dia mau saja menghancurkan apapun, asal bukan keluarganya, bukan kakaknya.
“Alex.”
Alex menoleh sebentar. Neil tersenyum di ambang pintunya. Alex membalas senyum kakaknya. Neil duduk di samping Alex dan mengelus kepala Alex pelan. Alex menghela napas. “Kau sudah tahu akan begini jadinya, ‘kan?”
Neil tersenyum. “Tidak ada yang bisa kita lakukan. Hidup ini anugrah tapi hidup ini juga masalah. Selama kita bernapas, selama itulah kita akan selalu menghadapi masalah…”
“Aku mengerti.”
“Kau baik-baik saja, ‘kan?”
Alex tersenyum lalu mengangguk. “Aku lebih kuat dari yang kau bayangkan, Kakak.” Alex meninju bahu Neil pelan. “Jadi? Kemana kita akan pergi?” tanyanya.
Neil mengangkat bahu. “Pinggir kota, tentunya.”
“Desa?”
Neil tertawa.
“Kuliahmu?”
“Aku bisa kerja sambilan di sana. Asalkan aku tetap mendapat beasiswa, kurasa bukan masalah untuk melanjutkan kuliah di luar negeri,” kata Neil sambil tertawa pelan. “Berusahalah untuk tidak merepotkan ayah dan ibu selama aku tidak ada.”
“Eh? Kau akan pergi?”
Neil mengangguk. “Besok pagi pesawatku akan berangkat. Jadi…” Neil tersenyum. “…malam ini aku akan bilang ‘sampai jumpa, Alex’ karena aku akan berangkat dini hari besok.”
Alex tidak berkata apapun. “Kau akan kembali seperti biasa, ‘kan?” tanya Alex akhirnya.
Neil terdiam. “Keadaan tidak lagi sama, Alex…” gumamnya. “Aku tidak bisa pulang seenaknya kali ini.” Neil menghela napas. Ia berusaha menghindari mata Alex yang berkaca-kaca. “Maafkan aku.”
Alex memeluk Neil. Gadis itu menangis. “Bagaimana aku bisa bertahan tanpamu, Bodoh?” makinya pelan. Neil mengelus punggung adik yang sangat disayanginya itu. “Siapa yang akan menasihatiku kalau aku berbuat bodoh? Siapa yang akan menghentikanku kalau aku mulai berulah?”
Neil mendesah. Untuk pertama kalinya ia mendengar adiknya merajuk seperti itu. “Kau kuat dan kau tahu itu. Kau pasti bisa bertahan, Alex. Ini tidak seburuk yang kau bayangkan.” Alex mengangguk. Neil memaksa Alex untuk menatapnya. “Kau harus ingat satu hal, Alex. Jangan pernah lupa pada dirimu, jangan pernah kehilangan akal, dan kau harus ingat bahwa aku selalu mendukungmu.”
Alex berusaha tertawa sambil menghapus airmatanya. “Itu tiga hal, Bodoh…”
Neil ikut tertawa.

“Neil!”
Alex terbangun saat cahaya matahari menimpa wajahnya. Ia melirik jam di atas mejanya. Gadis itu buru-buru keluar. Ibunya berada di dapur, memasak. Satu hal yang jarang dilakukan Mrs Parker karena biasanya ia berada di dapur restoran bintang lima-nya.
“Ibu! Neil?”
Mrs Parker menyuruh Alex untuk mendekatinya. Mrs Parker memeluk Alex kemudian mencium keningnya. Alex langsung sadar, Neil sudah berangkat. Alex berusaha menahan tangis. Ia biasa menangis di depan Neil dan dia tidak akan menangis di depan ibunya, tidak di depan siapapun kecuali Neil. Alex tidak pernah sudi memperlihatkan kelemahannya di depan orang lain selain orang yang sangat ia percayai.
“Kau baik-baik saja, Sayang?” Mrs Parker tersenyum.
Alex mengangguk. “Aku…akan mandi,” katanya.
Mrs Parker tersenyum maklum. “Ya. Setelah itu kita akan bersiap-siap.”
Alex kembali mengangguk. Gadis itu membanting pintu kamar mandinya kasar. Ia marah tapi ia tidak tahu marah pada siapa. Pada orangtuanya? Ayahnya? Ibunya? Atau Neil? Alex tidak mengerti. Kepalanya panas saat itu.
“Kau baik-baik saja, Alex?” tanya Mrs Parker begitu Alex selesai mandi.
Alex mengangguk. “Ya. Tentu saja.”
Keduanya terdiam. Mrs Parker memasukkan barang-barang ke dalam dus, begitu juga dengan Alex. Suasana hening saat itu. Hati Alex perih begitu ia mengingat saat ruangan itu selalu ramai dengan tawa keluarga Parker, saat semuanya masih baik-baik saja.
“Tidak ada yang salah dengan ayahmu, Sayang…” gumam Mrs Parker setelah bermenit-menit dalam keheningan. “Perusahaannya kolaps dan itu bukan salahnya…” kata Mrs Parker. “Salah satu klien perusahaan ayahmu menipunya dengan cara yang sangat licik. Jangan pernah kau salahkan ayahmu, ya?”
Alex tersenyum. “Tidak ada yang perlu disalahkan. Aku mengerti, kok.”
Mrs Parker menepuk kepala Alex. “Aku bangga memilikimu, Nak.”
Alex tersenyum. “Kita akan baik-baik saja, ‘kan?”
“Tentu saja, Alex. Tentu saja.” Mrs Parker tertawa pelan. “Kami sudah mengatur sekolahmu di sana. Meski sebuah kecil, Larkspur Lane punya sebuah SMA swasta yang…”
“Sebuah?”
Mrs Parker tersenyum. Alex terdiam sejenak kemudian ia tersenyum tipis. “Walaupun tiga kelasnya penuh, untunglah salah satunya masih bisa menampung seorang siswa.”
“Jadi hanya empat kelas?”
Mrs Parker mengelus rambut Alex. “Ini kota kecil, Sayangku…”
“Lalu?”
“Apa?”
“Pekerjaan kalian?”
Mrs Parker tersenyum. “Ayahmu akan membuka toko bangunan dan sebuah bengkel karena katanya di sana dekat dengan tanah pertanian. Dan aku…” Mrs Parker tersenyum bangga. “Aku akan membuka bar di sana. Dengan restoran pasta.”
Alex tersenyum bangga. Orangtuanya yang kuat dan teguh, seperti dirinya.
“Kau tidak keberatan ‘kan, Sayang?”
“Keberatan? Tidak. Semua akan baik-baik saja.”
Mrs Parker tersenyum melihat anak bungsunya yang selalu ia banggakan. “Wajahmu mirip denganku, kata orang-orang. Tapi sifatmu yang tegar dan kuat itu, sangat mirip dengan ayahmu, Nak. Itu membuatku bangga.”
“Kalau keras kepala? Apa itu turunan ayah juga?” goda Alex.

(to be continued)

0 komentar:

Post a Comment

Back to Top