0

WE ARE US

ini 'cerita' gue yang pertama hehehe. beberapa orang yang pernah baca protes sama gue, "kok setting-nya nggak di sini aja sih?". hmm, gue nulis ini buat keren-kerenan aja kok, jadi yaaaa...sekali-kali mengkhayal agak tinggian boleh dooooong...
and...this is the first part


WE ARE US

I
Awal yang Pendek

Mr dan Mrs Parker tinggal di New York di Jalan East 56th nomor 2 di sebuah rumah bergaya country yang nampak tua. Mereka mempunya dua anak yang sangat mereka banggakan: Neil dan Alexandra. Neil si kakak, 20 tahun, menempuh studinya di luar negeri melalui jalur beasiswa prestasi. Sementara Alexandra – yang lebih sering dipanggil Alex – baru menyelesaikan grade 11-nya dengan nilai dan prestasi yang membuat para orangtua lain menginginkan anak seperti gadis berambut cokelat gelap itu.
Meski jarang bertemu, kedua anak Mister dan Mrs Parker sangat rukun. Neil selalu melindungi Alex dan Alex selalu membuat Neil tertawa, simbiosis mutualisme kata orang-orang. Neil tidak banyak bicara dan cenderung tenang. Matanya dibingkai oleh kacamata. Dia berpostur tinggi kurus, saking tingginya terkadang Neil agak membungkuk ketika berjalan. Dia menyukai warna biru dan hampir selalu mengusahakan warna itu dalam pakaiannya. Tipe laki-laki yang sulit mendapat pacar dan selalu memiliki jerawat di ujung hidungnya. Neil tidak pernah mempermasalahkan hal-hal di atas, kecuali dua hal terakhir. Sementara Alex supel dan ceria. Berbeda dengan kakaknya yang bermata biru seperti Mister William, wajah Alex menurun dari darah latin ibunya. Tubuhnya tidak begitu tinggi tapi dia nekat ikut klub atletik dan akhirnya menjadi andalan klub di cabang high jump karena ketekunannya saat berlatih. Alex juga menguasai berbagai cabang olahraga lain. Tenis, aikido, senam, juga skating, semua ia kuasai dengan baik. Berbeda dengan Neil yang agak tertutup, Alex cukup populer di kalangan klub olahraga sekolahnya. Keduanya cukup berbeda untuk dikatakan sebagai saudara kandung.
Tapi, dalam kepala mereka, lain lagi ceritanya. Keduanya sering memikirkan hal yang sama, seperti anak kembar. Keduanya sering mengutarakan pendapat yang sama. Bila menonton kuis di televisi, keduanya pasti menjawab berbarengan dengan jawaban yang sama. Alex dan Neil juga seringkali kesulitan menghubungi ponsel satu sama lain karena keduanya selalu menelepon di saat yang bersamaan.
Ayah mereka, Mister William, adalah seorang CEO di sebuah perusahaan asing, cara lain untuk menyebut kaya-raya. Mrs Anita adalah wanita anggun berdarah latin, pemilik restoran bintang empat, yang terkenal dengan kedermawanannya karena sering mengadakan acara penggalangan dana. Setiap perkataan Mrs Anita seolah-olah ditujukan agar seluruh dunia menatapnya. Jadi bisa dibilang Mrs Anita sangat cantik dan kharismatik.
Tak dapat disangkal bahwa Mister William dan Mrs Anita sangat kontras. Mister William dengan tinggi 1,8 meter dan tubuh gagah seperti tentara dan rambut cokelat cepak. Sementara Mrs Anita harus puas dengan tubuh 1,56 meter-nya dengan rambut hitam bergelombang. Bila masuk sebuah ruangan, seluruh mata akan memandang pasangan itu, seolah keduanya memancarkan feromon. Untungnya, keduanya tidak keberatan diperlakukan seperti itu.
Mister dan Mrs Parker sangat bangga dengan pekerjaan mereka tapi mereka lebih bangga pada anak-anak mereka. Neil tidak harus menempuh jalur beasiswa jika ia mau karena ayahnya bahkan bisa membiayai empat orang mahasiswa sekaligus. Dan Alex bisa saja hidup glamor seperti gadis-gadis populer di sekolahnya, belanja setiap hari, dan merengek pada ayahnya untuk mengendarai Ferrari merah keluarganya ke sekolah. Mister dan Mrs Parker tidak bisa membayangkan jika anak mereka seperti itu. Karenanya, hal yang paling membuat mereka bangga adalah kenyataan bahwa kedua anak mereka adalah anak baik yang selalu berusaha untuk tidak merepotkan kedua orangtua mereka.
Neil sangat menyayangi Alex, itu merupakan bonus bagi Alex. Meski Alex juga menyayangi Neil tapi tetap saja rasanya sulit untuk membalas semua perlakuan Neil padanya. Neil selalu membelikan Alex bermacam-macam barang. Bila Alex ulang tahun, Neil selalu menabung sejak berbulan-bulan sebelumnya sehingga hadiahnya hampir selalu lebih mahal dari hadiah Mister dan Mrs Parker. Dan yang paling membuat Alex menyayangi Neil adalah kakaknya tidak pernah ragu untuk pulang saat Alex berkata ingin bertemu dengannya.
“Siapa yang dapat tiga penghargaan hari ini?” Neil mengacak rambut Alex saat adiknya pulang dari sekolah bersama Mrs Parker.
Alex berusaha menghindar meski ia suka diperlakukan seperti itu.
“Apa? Tiga penghargaan? Siapa?” tanya Mister Parker begitu keluar dari kamar mandi. “Anakku yang mana yang mendapat tiga penghargaan hari ini?” Mister Parker menatap istrinya. “Alex, ya? Sini, kemari, Nak.”
Alex tampak ogah-ogahan karena ia hapal yang akan terjadi berikutnya. Mister Parker menghujaninya dengan ciuman di kening dan pipi. Tapi Mister Parker tidak peduli pada Alex yang malas, ia menarik Alex dan melakukan ‘ritual ciuman selamat’-nya. Neil dan Mrs Parker tertawa.
“Janjimu dengan Jenny dua jam lagi, Mister Perfect,” kata Mrs Parker bercanda sambil melirik jam tangannya. Jenny adalah nama klien baru Mister Parker.
Mister Parker segera menyambar jasnya lalu mencium istrinya. Tak lama kemudian, Mrs Parker pun bersiap keluar. “Aku harus pergi, restoran sedang ramai hari ini. Kalau mau makan, telepon delivery service saja.”
“Orang-orang delivery tidak akan percaya ibu kita punya restoran,” gumam Neil sambil tertawa pelan. “Berapa kali seminggu kau menelepon delivery pizza?” tanyanya kemudian.
“Entahlah. Mungkin tiga atau empat kali. Bisa juga hampir tiap hari kalau orang-orang kelas atas itu sedang gencar mengadakan pesta.” Alex tertawa. “Bagaimana studimu? Kapan selesai?” Alex menuangkan jus ke dalam gelasnya.
Neil mencibir. “Jangan sembarangan,” katanya. “Jadi mahasiswa itu sulit,” elak Neil.
Tiba-tiba seekor anjing menghampiri keduanya. Anjing berbulu putih yang sudah menjadi bagian dari anggota keluarga Parker. Anjing Rottweiler bernama Alan itu sangat jinak pada seluruh keluarga. Kecuali Neil.
“AAAAAAHHHHHH!!!!” Jeritan Neil melengking.
Alan menggigit sebuah baju berwarna biru dan mencabik-cabiknya dengan puas.
Neil berusaha menarik baju kesayangannya itu tapi berakhir dengan geraman galak Alan. Neil mendecak kesal. “Kenapa kau tidak buang saja anjing itu?” gerutu Neil. Ia mengerut begitu mendengar Alan kembali menggeram seolah mengerti perkataan Neil.
“Membuang Alan sama saja membuangku,” gerutu Alex.
Neil melempar adiknya dengan bantal sofa. “Jangan sok melankolis,” ejek Neil. “Bagaimana kalau kita ubah saja namanya?”
Alex mengerutkan kening, tampak keberatan. “Kenapa? Aku suka dengan nama Alan,” bela Alex kesal.
“Rottweiler itu anjing pertama yang dikembangbiakan bangsa Romawi.” Neil memulai argumentasinya. “Dia juga anjing favorit tentara dan polisi. Gigitannya paling kuat diantara anjing jenis lain. Bagaimana dia hanya punya nama biasa seperti ‘Alan’?”
Alex merengut. Ia membaca majalah dan berlagak tidak peduli, meski ia juga memikirkan perkataan Neil.
“Aku punya nama yang bagus untuk ‘Alan’-mu,” kata Neil. Alex melirik kakaknya. “Cerberus.” Neil tersenyum bangga. “Tidak ada anjing penjaga yang lebih kuat dari peliharaannya Hades.”
Alex mendengus. “Bagaimana bisa anjing lucu seperti Alan menjaga neraka? Kecuali yang masuk neraka itu Tinkywinky dan Dipsy, itu pengecualian.” Alex kembali membaca majalahnya begitu sadar pembicaraannya dengan Neil tentang nama anjing akan terus berlanjut tanpa bobot.
Tapi Neil tidak menyerah begitu saja. “Ayolah, Pendek,” katanya. Alex melotot kesal dan kali ini Neil yang tidak peduli. “Kalau dia jinak padaku, aku akan memberinya nama keren seperti Nero atau Tiberius, dua kaisar besar bangsa Romawi.”
Alan menggonggong. Neil meleletkan lidahnya pada anjing putih itu.
“Alan benar, Jerawat,” balas Alex. Neil diam kali ini. “Tiberius dan Nero bukan nama yang menyenangkan. Tiberius, tidak punya kesopanan. Nero, pembunuh ibu dan istrinya, juga menghancurkan kota Roma.” Alex tertawa mengejek. “Menurutmu itu nama ‘keren’ untuk anjing baik seperti Alan?”
Neil menggigit bibir. Rupanya ia melupakan sisi Alex yang gila sejarah. Ada sesuatu pada diri Alex yang membuatnya enggan berdebat dengan adiknya itu. Tapi kali ini Neil nekat.
“Oke, oke. Kalau bukan kaisar Romawi mana pun.” Neil melenguh seperti sapi. “Mungkin nama yang lebih ‘anjing’ seperti hmm…” Neil berdehem sebentar. “Sparky atau Spike, mungkin.”
“Semua orang akan tertawa begitu mendengar nama Sparky,” keluh Alex. “Dan Spike? Ayolah, Neil. Tidak bisakah kau lebih kreatif?” Alex menghela napas. “Kau tahu, Neil? Alan berarti tampan dalam bahasa Celtic.”
Kali ini Neil tertawa keras. “Menurutmu Alan tampan?”
Alex menurunkan majalahnya kesal. “Lagipula,” katanya. “Alan anjing dewasa sekarang. Menurutmu dia mau dipanggil dengan nama barunya begitu saja? Alan bukan aktor yang mudah mengganti nama mereka dengan nama panggung bodohnya. Alan itu anjing. Bagaimana caranya membuatnya menerima nama barunya begitu saja?” Alex menatap Alan. “Ya kan, Alan?”
Alan menggonggong.
“Cobalah kau panggil dia dengan Sparky atau Spike.”
Neil tidak mau.
Alex tersenyum penuh kemenangan.
Kali ini Neil kalah dan ia kesal. Seumur hidupnya, Neil TIDAK pernah menang saat berdebat dengan adiknya. Dia juga tidak pernah tega untuk menolak permintaan adiknya, apapun bentuknya. Tapi Neil hanya manusia biasa. Kadang dia tidak mengerti mengapa dia begitu menyayangi Alex.
Bila sebagian kakak sering bertengkar dengan adiknya, adalah pengecualian bagi Neil dan Alex. Walaupun kesal ataupun marah, Neil tidak akan bisa bertahan lebih dari 15 menit. Selepas itu, ia akan melupakan semuanya dan kembali bercanda dengan Alex. Seperti yang terjadi saat ini. Setelah lama berdebat, akhirnya Neil mengajak Alex keluar untuk makan.
Keduanya berjalan kaki. Meski restoran pizza terpisah beberapa blok dari rumahnya, Alex dan Neil termasuk kategori anak yang sehat, sangat sehat. Kalau teman-teman mereka menderita karena obesitas, tidak begitu dengan kakak beradik itu. Alex dan Neil menjadi sangat sehat karena klaustrofobia yang membuat mereka benci tempat sempit seperti lift. Di kota New York yang memiliki banyak gedung bertingkat, orang-orang tidak akan pernah menemukan kedua anak itu di lift manapun di kota itu. Alex dan Neil selalu naik turun tangga, terkadang mereka naik lima sampai enam lantai. Rekor keduanya adalah sepuluh lantai, mereka tidak bisa bicara selama 10 menit setelah itu. Hal itu membuat keduanya sebugar kutu. Bahkan kutu harus menjalani training fitnes untuk sebugar keduanya. Tapi sebugar apapun Alex dan Neil, keduanya tidak bisa bergerak secepat lift sehingga keduanya sering terlambat. Itu bisa membuat kedua orangtuanya marah tapi Mister dan Mrs Parker lebih pengertian dari yang mereka duga.



ini first part-nya dan baru prolog.
yeeeep, prolog-nya ada 3 bagian. hahahahahaha, diniatin banget yaaaa. habis gimana dong? gue ngerasa bakal menarik sih.

kenapa judulnya 'we are us'?
hmm...tunggu kelanjutannya, pasti bisa dimengerti kenapa gue ngasi judul 'we are us'..

0 komentar:

Post a Comment

Back to Top