0

WE ARE US (part IV)

1
Harga Diri

Alex mematutkan dirinya di depan cermin. Ia menghela napas saat menatap dirinya mengenakan seragam sekolah barunya. “Seragam bodoh,” gerutunya kesal. “Kenapa pinggulku besar sekali, sih?” Alex duduk di pinggir kasur sambil memakai sepatunya. Vest biru gelap, rok tartan, kaos kaki hitam selutut, dan sepatu kulit berwarna cokelat, bagi Alex adalah sebuah krisis fashion meski dirinya bukan fashionista.
“Alex! Kau tidak mau terlambat di hari pertamamu, ‘kan?” seru Mrs Parker dari lantai bawah.
Alex melirik jam di atas meja. “Sial, aku terlambat,” makinya pelan. Ia menyambar ranselnya dan segera turun. “Aku berangkat, Bu,” katanya sambil mencium pipi ibunya kemudian menyambar roti di atas meja. Ia menepuk bahu ayahnya yang sedang duduk di kursi depan. “Sampai jumpa nanti, Yah.”
“Wanita baik-baik tidak akan makan roti sambil jalan!” seru Mister Parker tapi Alex tidak peduli. “Apa dia akan baik-baik saja?” gumam Mister Parker cemas. “Kelasnya begitu, sih…”
“Dia akan baik-baik saja, Mister Perfect. Karena dia seorang Parker. Seorang Parker kuat seperti batu karang, begitu juga dengan Alex,” hibur Mrs Parker yang sudah berada di samping Mister Parker.
“Ya. Aku tahu.”

Alex berlari kecil menuju sekolahnya. Ia melirik jam tangannya dan Alex sadar, ia akan terlambat. Tiba-tiba gadis itu melihat seseorang menaiki motor. “Gordon!” serunya. Motor itu berhenti dan pengendaranya tersenyum pada Alex. Pengendara berbadan besar dan berkumis itu tertawa.
“Terlambat, Alex? Butuh tumpangan?”
“Ya. Tentu saja. Terima kasih,” kata Alex gembira.
“Bagaimana restoran ibumu?” tanya Gordon.
Alex tersenyum. “Bagus dan kuharap akan terus begitu,” gumam Alex. “Toko ayah juga sudah dibuka sejak seminggu yang lalu dan cukup ramai, katanya.” Alex membetulkan posisi tasnya.
Tak lama kemudian, mereka sampai di Veritas High. Alex segera melepas helm dan berlari menuju sekolahnya. “Sampai jumpa nanti, Gordon. Terima kasih,” seru Alex. Gordon mengangkat tangannya. Alex masuk bersamaan dnegan bel masuk. Gadis itu mendesah lega. Ia melihat sekeliling dan cukup puas dengan keadaan sekolahnya. Meski tidak semegah sekolah lamanya tapi Veritas High cukup berkelas untuk ukuran sekolah pinggir kota.
“Alexandra?”
Alex terkejut begitu seorang guru memanggilnya. Alex mengangguk ragu. Guru di hadapannya tampak galak dengan wajah cekung berkacamata. Matanya menatap Alex penuh selidik. Guru itu mengisyaratkan Alex untuk mengikutinya. Gadis itu menurut.
“Kau sudah tahu bahwa kau akan masuk divisi D?” tanya guru itu. Alex mengangguk. Guru berkacamata itu memasuki ruang wakil kepala sekolah dan duduk di belakang mejanya. Ia menarik jasnya yang sebenarnya tidak kusut sama sekali. “Melihat latar belakangmu sebagai pelajar paling berprestasi di sekolah asalmu, dengan penuh hormat, saya menyarankan untuk menunda keinginan belajarmu di sekolah ini dan melanjutkannya tahun depan.”
Alex mengangkat alis kaget. “A-apa maksudnya?” sahutnya bingung. “Apa ada persyaratan yang kurang untuk masuk sekolah ini atau…”
“Tidak ada yang kurang,” potong guru itu.
“Lalu kenapa…”
Guru itu mengangkat bahu. “Saya hanya bisa menyarankan, Ms Alexandra. Keputusan selanjutnya ada di tanganmu.”
Alex mendengus. “Saya harus menunda setahun? Jangan bercanda…” Alex melirik papan nama di atas meja. “…Mister Montgomery. Keputusan saya? Tentu saja belajar di sekolah ini, hari ini juga, sekarang juga. Di kelas manapun itu,” tegas Alex.
Mister Montgomery mengangkat bahu kemudian ia mengangkat telepon. “Mister Manyard. Tolong ke ruanganku, segera,” katanya. “Kepala Sekolah sedang dinas ke luar kota. Jadi selama itu, sayalah yang memimpin di sini.” Alex mengangguk tidak peduli.
Tak lama kemudian, seorang guru pria – yang tak kalah seram dibanding Mister Montgomery – masuk ke dalam ruangan. “Anda memanggil saya, Wakil Kepala Sekolah?”
“Tentu saja. Antar Alexandra Parker ke kelas 3-D,” perintah Mister Montgomery.
“Eh?”
Mister Montgomery menatap guru itu tajam. Mister Manyard mendesah sambil mengajak Alex untuk mengikutinya. Alex menurut. “Selamat datang di Veritas High, Alexandra,” seru Mister Montgomery kemudian. Alex mengangguk sambil tersenyum tipis.
Mister Manyard berjalan pelan-pelan dan membuat Alex tidak sabar. Gadis itu bisa melihat kegelisahan di wajah guru itu. “Ada apa dengan kelas 3-D sebenarnya?” tanya Alex akhirnya. “Wakil Kepala Sekolah sampai bilang lebih baik saya menunggu setahun. Apa kelas itu begitu…buruk?”
“Yang terburuk sepanjang 28 tahun aku menjadi guru di sekolah ini,” gumam Mister Manyard.
“Eh?”
Mister Manyard tersenyum iba pada Alex. “Aku sudah mendengar sepak terjangmu, Parker. Siswa terbaik di sekolahmu, nilai yang sempurnya, kau adalah siswa yang turun langsung dari tangan Tuhan,” puji Mister Manyard. Alex mengerutkan kening. Baginya, Mister Manyard agak tidak waras. “Aku harap kau bisa masuk kelasku.”
Dalam hati, Alex bersyukur tidak masuk kelas guru psycho di hadapannya ini.
“Jadi…” Mister Manyard berdiri di depan sebuah kelas. “Ini kelasmu mulai sekarang.”
“Eh?” Alex mengerutkan kening begitu Mister Manyard mundur beberapa langkah. “Anda bukan wali kelasnya?”
“Aku pasti masuk rumah sakit jiwa kalau menjadi wali kelas 3-D…” gumam Mister Manyard sambil menjauh dari kelas itu cepat-cepat.
“Tidak usah menjadi wali kelas 3-D pun, kurasa dia harus masuk rumah sakit jiwa,” gerutu Alex. Ia menarik napas panjang dan membuka pintu kelas yang terdengar keramat itu. “Selamat pagi, semu…” Alex langsung terpaku. “…a…”
Kelas yang suram. Kertas berserakan di bawah lantai, meja-meja yang tidak teratur, papan tulis yang kotor, puluhan pesawat kertas yang menyangkut di ventilasi jendela, dan yang paling buruk adalah para remaja seumuran Alex – yang bertindik – duduk di atas meja dengan kaki terangkat. Alex tak bisa bernapas selama beberapa detik, ia pikir dirinya bermimpi.
Seluruh penghuni kelas itu menatapnya selama beberapa detik, kemudian mereka kembali asyik dengan dunia mereka masing-masing. Sebagian bermain lempar tangkap bola, yang lainnya mengerubungi seseorang yang membuka laptop, dan sebagian yang lain asyik tidur. Alex tidak bergerak dari tempatnya.
Tiba-tiba pintu ruangan kembali dibuka. Kali ini seseorang berpakaian suster masuk ke dalam kelas tersebut. “Baik, Anak-anak. Duduk dan diam,” katanya. “Alexandra Parker akan masuk kelas kalian mulai hari ini.”
Tapi tidak ada yang mendengarkan.
“DIAAAAAMMMM…!!!!” Suster itu berteriak keras. Kelas hening untuk beberapa saat. Suster itu tersenyum puas. “Alexandra, anggap seperti rumahmu sendiri,” kata suster itu sambil tersenyum.
Alex menatap ‘rumah’ barunya sambil meringis. “Ya. Pasti, Suster.”
“Mary, pindahkan tasmu ke depan. Duduklah di samping Taylor, Nak.” Suster itu menunjuk sebuah kursi yang diduduki oleh satu-satunya gadis di kelas 3-D itu. “Dia yang paling aman di kelas ini,” bisik suster itu kemudian.
“Catherine, ini tempat dudukku, kau tahu?” Gadis bernama Mary itu berdiri tidak puas. Alex menelan ludah begitu sadar rok Mary yang begitu pendek membuat laki-laki di kelas itu menatap kaki Mary yang jenjang.
Suster Catherine menatap Mary tajam. “Jaga mulutmu, Gadis Muda,” ujarnya tegas. “Aku tidak ingin melihat namamu di buku hitam lagi.”
Mary langsung terdiam. Ia mengangkat tasnya dan melemparnya ke kursi depan. Mary membanting tubuhnya ke atas kursi sambil menatap Suster Catherine dengan pandangan menantang. Ia menyilangkan kaki, kali ini menatap Alex. “Alexandra, huh?”
Alex mengangguk ragu.
Mary tersenyum sinis.
Merasa semua akan baik-baik saja dengan adanya Suster Catherine, Alex berjalan ke kursinya. Ia menatap anak yang duduk di sampingnya. Ia tahu anak itu, anak yang berada di gubuk kecil di padang rumput. Taylor tidak menatap Alex sedikitpun. Anak itu melempar pandangannya ke arah lain.
Suster Catherine mengabsen anak-anak bengal itu dan mereka menjawabnya dengan ogah-ogahan. Alex tidak bisa bicara apapun. “Baiklah. Kuharap kalian bisa bekerja sama dengan Alexandra.” Suster Catherine menutup buku absennya dan keluar kelas. Alex terpana.
“Eh? Itu saja?” gumamnya pelan.
Kelas itu kembali ramai. Alex melirik Taylor yang duduk di sebelahnya. Gadis itu mendesah saat Taylor beringsut tidur. “Alexandra Parker.”
Alex mendongak. Gadis bernama Mary itu berdiri di hadapannya. “Ya?”
“Menyingkir dari kursiku,” kata Mary tajam.
“Eh?”
Mary menatap Alex galak. Alex agak gentar tapi ia memutuskan untuk bertahan. Mary langsung sadar, Alex bukan gadis biasa. Ia mencengkeram tangan Alex. “Minggir dari kursiku atau…”
“Atau apa?” tantang Alex, berusaha tenang.
Mary mencengkeram kerah seragam Alex. “Kau berani…”
“Kenapa tidak?” potong Alex sambil melepaskan cengkeraman Mary. Ia kembali duduk di bangkunya. “Kita sama-sama murid di sini, ‘kan?” Alex tersenyum penuh arti.
Seseorang berdiri dan menyeringai sambil menatap teman-teman sekelasnya. “Kurasa dia belum tahu peraturan di kelas ini,” katanya. Alex juga mengenal orang itu. Jared, anak yang meminta kail pada Gordon saat Alex pertama kali datang ke kota ini. “Kau sadar kalau kau anak baru, Alexandra?”
Alex mengangkat bahu.
Kali ini Jared kehilangan kesabaran. Ia tidak tahan pada senyum Alex yang tanpa rasa takut itu. Ia merasa terintimidasi karena selama ini, tidak ada orang yang bisa bertahan di kelasnya tanpa rasa takut yang menghantuinya. Jared mencengkeram seragam Alex.
Seisi kelas bersorak menyemangati Jared. Alex mengerutkan kening.
“Kau harus sadar posisimu, Bocah!” Jared menyentakkan tubuh Alex. Gadis itu kembali duduk sambil membetulkan bajunya yang kusut. Jared makin kesal melihat Alex yang tidak bereaksi sedikitpun. “Kau tidak dengar Mary menyuruhmu untuk pindah?!” bentaknya marah.
Alex mendongak dan menatap Mary serta Jared bergantian. “Aku dengar, kok.”
Jared mengepalkan tangannya.
Alex menyadari gelagat buruk dua orang di hadapannya. Gadis itu melipat tangan di atas meja sambil menarik napas. “Dengarkan aku, kalian berdua dan semua yang ada di sini,” katanya. “Tanpa tahu latar belakang kalian, aku mengerti kalian siswa yang seperti apa dan aku tidak ingin mencari masalah dengan kalian, sungguh.” Alex menatap Mary sambil tersenyum. “Tapi aku membayar sekolah ini sehingga aku punya hak untuk memilih, ‘kan? Dan kali ini, aku memilih untuk duduk di sini. Kau tidak bisa memerintahku, Mary.”

Bel istirahat berbunyi. Seisi kelas berbondong-bondong keluar. Alex menepuk keningnya sambil mendesah pelan. Gadis itu melirik Taylor yang duduk di sampingnya, masih tertidur dengan posisi yang sama saat ia datang. “Kutukan apa yang membuat aku berada di sini?” gumamnya pelan. Akhirnya ia mengangkat bahu. “Terserah sajalah, yang penting makan dulu.” Alex membereskan barangnya dan keluar kelas.
Suasana kantin ramai hari itu. Alex mendecak saat melihat bangku kantin sudah penuh terisi. Ia mengikuti antrian di hadapannya. Tiba-tiba seseorang menyeruak masuk dalam barisan. Para siswa memperhatikannya.
“Kalian melihat apa?!” gertak anak itu. Para siswa langsung menunduk.
Alex kembali mendesah, ia kenal anak itu. Regis Hook dari kelas 3-D, singkatnya teman sekelasnya. Regis melambaikan tangannya pada teman-temannya. Mereka berbondong-bondong masuk ke dalam barisan. Alex menggeram kesal. “Semuanya mengantri,” sahutnya tiba-tiba.
Seluruh siswa menatapnya, termasuk kawanan dari kelas 3-D itu.
Alex agak gugup tapi ia berusaha bertahan. “Kalian tidak lihat barisan di sini? Semuanya mengantri dari belakang.”
Jared keluar dari barisan dan mendekati Alex. Seluruh siswa mundur dan meninggalkan Alex dan kawanan Jared di tengah kantin. “Menurutmu siapa kau sampai berani berkata seperti itu padaku dan teman-temanku?”
Alex mengepalkan tangannya.
“Dia anak baru yang tadi, Jared,” sahut anak gendut di belakang Jared. Alex juga mengenalnya. Terrence Willow.
“Parker, ya?” Jared menyeringai.
Alex tersenyum. “Aku senang kau masih mengingat namaku, Jared Clint.” Alex menarik napas.
Jared menggertakkan rahangnya begitu sadar Alex tidak bisa diancam dan Jared bukan tipe orang yang suka memukul lawan jenisnya. Jared tertawa pelan. “Aku tidak mengerti bahasa bocah.” Jared berbalik tidak peduli.
“Walaupun bocah, setidaknya aku masih mengikuti peraturan manusia.”
Jared menghentikan langkahnya.
“Lebih baik daripada manusia yang tidak mengerti peraturannya sendiri, ‘kan?” Alex tersenyum menantang. Ia mendekati Jared dan menepuk pundaknya. “Senang berkenalan denganmu, Jared,” bisiknya pelan. Alex mengambil sebuah roti isi dan membayarnya pada penjaga kantin. Penjaga kantin itu hanya bisa terperangah melihat seorang anak baru bisa menghadapi Jared.
Tiba-tiba Jared menahan pundak Alex yang akan keluar kantin.
Alex tersenyum sambil berbalik. “Ya?”
Sebuah pukulan melayang ke wajah Alex. Gadis itu terjatuh, darah mengucur dari mulutnya. Teman-teman Jared menahan pimpinannya yang mengamuk. Alex hanya tersenyum sambil menyeka darah yang keluar dari mulutnya. “JANGAN BICARA SEMBARANGAN!!!” bentak Jared.
Alex mengangkat bahu. “Di mana harga dirimu?” tanya Alex pelan. Jared terdiam. Alex berjalan lambat-lambat keluar kantin sambil memakan rotinya, seolah tidak terjadi apapun.
“Tenanglah, Jared.” Regis menepuk bahu Jared. “Kenapa kau ini?”
Jared berusaha mengatur napasnya yang tidak beraturan. Ia menendang tong sampah di hadapannya sambil berteriak marah.

Alex mendesah lega begitu bel pulang berbunyi. Ia langsung mengerti situasi yang terjadi di kelas itu. Ia juga langsung mengerti kenapa para guru takut dan enggan mengajar di kelas itu. Jared, si pemimpin kelas yang seenaknya dan ditakuti oleh seluruh siswa. Mary, primadona kelas yang pemberontak. Charlie, setengah Korea yang selalu terang-terangan menatap kaki jenjang Mary. Terrence, si gendut yang tidak bisa kenyang. Regis, hiphopper yang tidak bisa diam. Taylor, yang kerjanya hanya tidur sepanjang hari. Dan anak-anak lain yang tingkahnya bermacam-macam. Satu kesamaan mereka adalah sama-sama bengal dan tidak bisa diatur.
“Menurutmu berapa lama dia akan bertahan?”
Alex menghentikan langkahnya di gerbang sekolah. Ia melirik dan melihat Jared beserta gengnya sedang duduk-duduk di taman sekolah.
“Alexandra itu?” Regis tertawa-tawa. “Kurasa saat ini dia pulang dan menangis pada orangtuanya. Menurutku, besok dia tidak mungkin datang ke sekolah,” katanya setengah mengejek.
Jared mengangguk setuju. “Kurasa hanya gayanya yang tenang di kelas tadi,” sahutnya. “Aku agak kaget saat dia tidak gentar dengan gertakan Mary. Bahkan Mister Montgomery lari kalau Mary sudah melotot.” Jared dan kawanannya tertawa.
“Apalagi dia bisa bersikap tenang di depan Jared yang mengamuk,” sahut Terrence. Regis menatapnya kesal, Terrence langsung pura-pura sibuk makan. “Tapi kurasa dia bukan gadis biasa, Jared.”
“Menurutku kau berlebihan, Terry,” timpal Charlie. “Semua perempuan sama saja. Termasuk Mary dan Alexandra. Ya ‘kan, Tay?” Charlie manatap Taylor yang duduk di sebelahnya. Taylor melengos dengan wajahnya yang datar.
“Tapi kau benar, Rae,” kata Jared pada Regis. “Kurasa besok, kelas kita akan kembali normal.”
Alex menyingkir perlahan. Ia menggertakkan rahangnya kesal. “Aku? Takut?” gumamnya pelan. “Aku sedang melewati masa terburuk dalam hidupku. Haruskah aku takut pada hal seperti itu?” dengus Alex. “Neil, aku kuat dan aku tahu hal itu.” Alex berusaha meneguhkan niatnya seiring dengan langkahnya ke luar sekolah.



*oke, ini cerita mulai random dan gue sendiri masih bingung sebenernya gue mau cerita apa... tapi...yaudahlah hahahahahaha*

0 komentar:

Post a Comment

Back to Top