0

We Are Us (part 3)

III
Hidup Adalah Perjalanan

Alex menjulurkan kepalanya ke luar jendela mobil. Aroma kota hampir menghilang sepenuhnya. Ia menatap ayahnya yang menyetir. Dadanya kembali terasa perih begitu mengingat ayahnya yang biasa menyetir BMW ataupun Jaguar, saat ini pria gagah itu mengendarai truk pickup Chevrolet berwarna merah keruh. Tapi ayahnya tampak gembira. Sementara Mrs Parker duduk di antara Alex dan suaminya, sesekali ia tertawa saat Mister Parker mengeluarkan guyonannya. Alex tersenyum.
“Kau suka tempat ini, Alex?” tanya Mister Parker begitu Chevrolet itu melewati palang besar bertuliskan ‘Welcome to Larkspur Lane’.
Alex kembali menjulurkan kepalanya. Aroma kota benar-benar sudah menghilang sepenuhnya. Ia melihat padang rumput luas di kanan kiri mobilnya. Beberapa orang menatap Chevrolet-nya dari tengah padang rumput lalu malambaikan tangan mereka. Alex mengerutkan kening.
“Ya. Mereka melambai padamu, Sayang,” kata Mrs Parker.
Alex mengerutkan kening sambil membalas lambaian itu kikuk.
“Kota yang ramah, bukan?” Mister Parker tersenyum.
“Ya.”
Mister Parker menghentikan mobilnya. “Kenapa kau tidak melihat-lihat dulu, Sayang?” katanya. “Kami akan mengurus sesuatu di kantor walikota. Aku yakin kau akan bosan kalau menunggu kami.”
“Aku tidak kenal daerah ini.”
Mrs Parker tersenyum sambil mengelus kepala Alex. “Aku yakin inilah saatnya untuk berkenalan, Alex,” katanya lembut. Akhirnya Alex mengangguk. “Kembalilah saat hari mulai gelap. Tanya saja pada orang-orang sekitar sini. Junnibacken, rumah bata merah.”
Alex mengangguk. “Ya. Tentu saja,” ujar Alex. Ia melambaikan tangan pada mobil kedua orangtuanya yang mulai menjauh. “Junnibacken,” dengusnya pelan. “Apa yang bisa dilihat di sini?” gumamnya pelan sambil mengedarkan pandangannya. Padang rumput itu seolah tidak ada habisnya.
Alex memanjat pagar padang rumput itu. Gadis itu menghirup napasnya dalam-dalam, ia mencium bau rumput yang tak pernah ia rasakan di New York. Saat itu juga ia merasa memiliki kota kecil itu. Alex menyusuri padang rumput yang luas itu. Tiba-tiba ia melihat sebuah sebuah pohon padang rumput itu. Gadis itu mendekatinya begitu sadar sebuah gubuk kecil berdiri di samping pohon itu.
Alex membuka pintu gubuk itu. “Permisi?” gumamnya pelan. Gubuk itu terawat, tidak seperti dugaan Alex yang mengira itu gubuk usang. Ditambah lagi peralatan melukis dan tumpukan kanvas dalam gudang itu, membuat dugaan Alex sirna tak berbekas. Gadis itu melihat-lihat lukisannya dan mendecak kagum. Kertas foto yang berserakan di atas meja, pahatan kayu di atas lemari, serta partitur musik yang berserakan di lantai gubuk, Alex seperti berada di sebuah galeri seni. “Apa-apaan ini?” Alex mengerutkan kening. Begitu sinar matahari masuk melalui jendela kecil gubuk itu, Alex makin yakin dirinya berada dalam galeri. Seluruh dinding gubuk itu dilukis dengan tangan.
“Apa yang kau lakukan di sini?”
Alex berbalik kaget. Ia terpana begitu melihat sosok tinggi menghalangi pintu masuk gubuk itu. “A-aku…”
“Apa yang kau lakukan di sini?!” Nada bicara orang itu meninggi beberapa desibel. Alex mundur beberapa langkah. Sosok itu mendekatinya.
“A-anu… Aku minta maaf…”
Sosok tinggi itu mencengkeram tangannya kasar dan membawanya keluar gubuk. “Aturan darimana yang membuatmu bisa seenaknya keluar masuk gubuk asing?” Orang itu menatap Alex marah.
Alex makin gugup begitu sadar orang itu seumuran dengannya. “A-aku orang baru. Ja-jadi…”
Raut marah orang itu berubah selama beberapa detik namun Alex bisa menangkap keterkejutan dari matanya. “Menurutmu kau bisa seenaknya masuk ke dalam tempat asing sekalipun kau orang baru?” Orang itu masih marah tapi nada bicaranya agak melunak.
Alex masih terdiam.
Orang itu menatap Alex kesal. Ia meninggalkan gadis itu dan masuk ke dalam gubuknya.
Alex mengepalkan tangannya. “Aku Alex!” serunya dari luar. “Dan ngomong-ngomong, aku suka lukisanmu!” Alex menunggu respon orang itu. Namun tidak terjadi apapun. Alex mendesah dan meninggalkannya. “Ah, di mana Veritas High?” tanyanya pada seorang pria besar.
“Di sana. Setelah Blackwater Lake,” kata orang itu dengan logat Rusia yang kental.
Alex mengangguk. “Terima kasih.”
“Anu…apa kau anak Mister Parker yang akan tinggal di Junnibacken?”
Alex tersenyum dan mengangguk. “Ya.”
Orang itu menyalami Alex. “Aku Gordon. Aku tinggal di dekat Blackwater Lake, dekat sekolahmu. Junnibacken juga tidak jauh dari tempatku. Selamat datang di Larkspure Lane, Parker Junior.”
“Alex. Namaku Alex.”
Gordon tertawa. “Selamat datang, Alex,” ulangnya. Ia mengangkat ember-ember yang ia letakkan. “Kupikir orang kota tidak akan mau tinggal di tempat kumuh seperti ini.” Gordon tersenyum riang.
“Menurutku ini tempat yang indah.”
“Senang kau berpikir seperti itu. Aku menyukai tempat ini, kau tahu?”
“Ya. Tentu saja. Sangat jelas.”
Gordon kembali tertawa. “Baiklah… Aku harus pergi, Alex.”
“Perlu kubantu?” tanya Alex saat melihat Gordon yang kesulitan dengan ember-embernya.
Pria besar berkumis itu tertawa. “Ember ini berat, kau tahu?”
Alex tersenyum. “Aku lebih kuat dari yang terlihat, Mister Gordon.”
“Gordon saja.” Alex kembali tersenyum sambil mengangkat ember itu dengan mudah. Gordon bersiul kagum. “Aku membuka tempat pemancingan,” katanya. “Kalau kau sekuat itu, kurasa kau bisa kerja sambilan di tempatku.”
“Mengangkat ember?”
Gordon tertawa. Alex menyukai tawanya. “Bukan. Kasir tentu saja.”
Alex mengangkat alisnya heran. “Hubungannya dengan kuat adalah…?”
Gordon mengibaskan tangannya tidak peduli. “Tidak ada sebenarnya,” katanya. “Berbeda dengan jamanku dulu, sewaktu anak-anak masih mau bekerja untuk mendapat uang. Anak-anak jaman sekarang kerjanya hanya bergantung pada orangtuanya.”
“Aku dan kakakku tidak,” bantah Alex. “Kakakku kuliah di luar negeri. Dia mendapat beasiswa dan kerja sambilan di sana untuk mendapat uang saku.” Alex berusaha meyakinkan Gordon.
Gordon tersenyum. “Dari matamu, aku sudah tahu kau berbeda dari yang lain, Alex,” katanya. “Makanya aku menawarkan pekerjaan ini padamu,” lanjut Gordon sambil tertawa. “Sepertinya kita bisa berteman baik, Alex. Kalau ada masalah, jangan ragu cerita padaku. Oke?”
Alex mengangguk. “Terima kasih, Gordon.”
Tak lama kemudian mereka berdua sampai di sebuah danau yang di pinggir jalan namun dikelilingi hutan. Rumah Gordon tepat di samping danau itu. Terang saja, rumahnya adalah tempat pemancingan. “Jangan sungkan-sungkan, masuklah. Letakkan saja embernya di beranda,” katanya.
Alex memasuki rumah kayu itu. Rumah yang bersih dan hangat. Alex langsung menyukai rumah itu. Ia mengikuti Gordon ke halaman belakang rumahnya. Gadis itu dapat melihat sebuah toko kecil di samping danau. Gordon melambaikan tangannya, mengisyaratkan pada Alex untuk segera menyusulnya. Alex berlari kecil.
“Kau suka tempat ini?”
Alex mengangguk. “Ya. Hangat.”
Gordon tersenyum.
“Mana istri dan anakmu?” tanya Alex. Gordon terdiam, senyumnya lenyap. Alex langsung menyadari kesalahannya. “Maaf. Aku lihat foto keluarga di ruang tamu tadi…” gumamnya menyesal.
“Kanada.”
“Eh?”
Gordon kembali tertawa. Alex mendesah lega, Gordon tidak marah. “Istriku membawa anakku ke Kanada bersama suami barunya,” katanya ringan. “Tentu saja dia lebih memilih pria yang memiliki yacht dan mengarungi lautan daripada pria yang memiliki perahu tua dan mengarungi tempat pemancingan, ‘kan?” ujar Gordon setengah bercanda. Alex tertawa. Gordon membuka pintu tokonya. “Mau memancing?”
Alex menggeleng pelan. “Aku tidak pernah memancing.”
Gordon menepuk kening. “Aku lupa. Kalian, penduduk New York, hanya memancing uang, bukan memancing ikan,” candanya. “Tapi di sini, memancing ikan sama dengan memancing uang.” Gordon tertawa. Ia memberikan alat pancing pada Alex. “Aku biasa berkenalan dengan memancing bersama. Tidak memancing bersama, berarti belum mengenalku.”
“Paksaan yang halus, G-man.”
Gordon berkacak pinggang kesal saat melihat anak laki-laki di pintu tokonya. “Kenapa kau di sini, Anak Nakal?”
Alex terkejut begitu melihat dua tindikan di telinga anak itu.
“Ayolah, G-man. Berikan aku kail andalanmu itu,” pintanya.
“Pulanglah, Nak. Ibumu menunggu, ‘kan?”
Anak itu mendengus. Kemudian ia menatap Alex. “Dia orangnya?” tanyanya setengah meremehkan. Alex menahan kesal. “Dia yang dibicarakan penduduk akhir-akhir ini?”
“Mm-hm. Keluarga Parker.” Gordon membongkar laci kailnya.
Anak itu menatap Alex naik-turun, dari ujung kepala sampai ujung kaki. Alex jengah, ia berusaha tidak menatap anak itu. “SMP kelas berapa?” tanya anak itu, masih pada Gordon.
Kali ini Gordon tertawa terbahak-bahak. “SMP? Dia SMA, Nak.”
“Oh ya? Junior?”
Gordon mengangkat bahu. Anak itu kembali menatap Alex. Gadis itu tidak berniat memberitahu bahwa ia berada di tingkat paling senior tahun itu. “Jadi? Mana kailnya?” tanya anak itu kemudian. Alex mendesah lega.
“Tidak ada kail untukmu hari ini, Nak. Ibumu mencarimu tadi.”
Anak itu mendengus kesal. “Jangan ikut campur urusan keluargaku, G-man.”
Gordon diam saja. Anak itu pun pergi dengan sendirinya.
Alex mengerutkan kening. “Aku mengerti kenapa pendapatmu begitu sinis pada anak seumuranku,” gumamnya pelan.
“Namanya Jared.” Gordon mengajak Alex keluar. Ia melempar kailnya kemudian kail Alex pun ia lempar. “Aku agak kasihan pada ibunya. Ayahnya sudah lama meninggal sehingga Jared bersifat seperti itu.”
Alex mengangguk-angguk. “Dia juga di Veritas High?”
“Tentu saja. Grade 12.”
Alex membatu. Dalam hatinya, ia berdoa agar tidak sekelas dengan anak itu. Tiba-tiba ia teringat dengan gubuk kecil itu. “Gordon, tadi kulihat ada gubuk kecil di padang rumput sebelum masuk kota.”
“Eh?”
“Ya. Dengan atap merah di sebelah pohon kering.”
Gordon terdiam. “Itu gubuk Taylor. Temannya Jared. Dia juga sering ke sini bersama teman-temannya. Nanti kukenalkan kapan-kapan. Tapi kau bisa berkenalan sendiri karena dia juga dari East High.”
Alex tertawa netral. Dalam hatinya, ia kembali berdoa agar tidak perlu berkenalan dengan anak-anak itu.
“Kalau Taylor pendiam, berbeda dengan Jared. Wajahnya selalu menatap orang lain dengan pandangan tajam tapi, percaya padaku, dia jutaan kali lebih baik daripada Jared,” kata Gordon. “Lagipula, Jared sebenarnya anak baik. Hanya saja dia kehilangan arah. Itu saja masalahnya. Harus ada yang menjadi setir untuknya, sayangnya ibunya terlalu sibuk mencari uang untuk anak-anaknya. Meski aku tahu dia sangat menyayangi Jared, tetap saja…”
“Aku mengerti, Gordon,” kata Alex. “Semua orangtua mencintai anaknya. Aku mengerti, Gordon. Sangat mengerti.”

“Terima kasih sudah mengantar Alex pulang, Gordon,” kata Mister Parker begitu Alex pulang ke rumah barunya. “Kau melihat sekolah barumu, Sayang?” Mister Parker menepuk kepala Alex.
“Tidak, dia memancing bersamaku. Dan sekarang, dia bisa membedakan mana yang sepatu dan mana yang ikan,” canda Gordon sambil tertawa keras. Mister Parker mengerutkan kening.
“Hmm, pancinganku tidak begitu bagus hari ini,” gumam Alex malu.
“Lalu ikan dalam ember itu?” tanya Mister Parker sambil tertawa menggoda. Alex merengut. Gordon tertawa. “Terima kasih, Gordon.”
Gordon mengangkat tangannya. “Aku harus pergi. Sampai jumpa, Alex. Mampirlah ke tempatku kapanpun kau mau,” katanya. “Semoga berhasil dengan bengkel dan restoranmu, Parker!”
Mister Parker dan Alex menatap Gordon sampai pria itu menghilang di balik tikungan. Kemudian Mister Parker mengajak Alex masuk. “Bagaimana menurutmu? Kota ini bagus, kan?”
“Ya. Tentu saja,” kata Alex sambil tersenyum. Ia memutuskan untuk tidak menceritakan mengenai anak bernama Jared dan Taylor yang ia temui tadi. “Kurasa tidak buruk juga. Rumah ini juga…” Alex melihat sekeliling. “…lumayan.” Rumah bata itu juga terasa hangat, seperti rumah Gordon.
“Lalu? Kau melihat sesuatu yang menarik?” tanya Mrs Parker dari dapur.
Alex terdiam sejenak. “…tidak juga. Hanya danau.”
Kedua orangtua Alex tertawa. “Itulah akibatnya kalau bergaul dengan Gordon.” Mister Parker duduk di belakang meja makan. “Tapi akan sangat berguna kalau cita-citamu menjadi atlet memancing ataupun ahli perikanan,” candanya.
Alex terdiam. Ia tidak pernah membayangkan kedua orangtuanya ada di sini, di sebuah desa yang jauh dari kota. Ia juga tidak bisa membayangkan bagaimana hal ini akan berlanjut, dengan kedua orangtuanya yang akan selalu berada di rumah dan tanpa Neil. Ia bahkan tidak tahu berapa lama ia akan bertahan.

0 komentar:

Post a Comment

Back to Top