Showing posts with label Story Telling. Show all posts
Showing posts with label Story Telling. Show all posts
0

WE ARE US (part IV)

1
Harga Diri

Alex mematutkan dirinya di depan cermin. Ia menghela napas saat menatap dirinya mengenakan seragam sekolah barunya. “Seragam bodoh,” gerutunya kesal. “Kenapa pinggulku besar sekali, sih?” Alex duduk di pinggir kasur sambil memakai sepatunya. Vest biru gelap, rok tartan, kaos kaki hitam selutut, dan sepatu kulit berwarna cokelat, bagi Alex adalah sebuah krisis fashion meski dirinya bukan fashionista.
“Alex! Kau tidak mau terlambat di hari pertamamu, ‘kan?” seru Mrs Parker dari lantai bawah.
Alex melirik jam di atas meja. “Sial, aku terlambat,” makinya pelan. Ia menyambar ranselnya dan segera turun. “Aku berangkat, Bu,” katanya sambil mencium pipi ibunya kemudian menyambar roti di atas meja. Ia menepuk bahu ayahnya yang sedang duduk di kursi depan. “Sampai jumpa nanti, Yah.”
“Wanita baik-baik tidak akan makan roti sambil jalan!” seru Mister Parker tapi Alex tidak peduli. “Apa dia akan baik-baik saja?” gumam Mister Parker cemas. “Kelasnya begitu, sih…”
“Dia akan baik-baik saja, Mister Perfect. Karena dia seorang Parker. Seorang Parker kuat seperti batu karang, begitu juga dengan Alex,” hibur Mrs Parker yang sudah berada di samping Mister Parker.
“Ya. Aku tahu.”

Alex berlari kecil menuju sekolahnya. Ia melirik jam tangannya dan Alex sadar, ia akan terlambat. Tiba-tiba gadis itu melihat seseorang menaiki motor. “Gordon!” serunya. Motor itu berhenti dan pengendaranya tersenyum pada Alex. Pengendara berbadan besar dan berkumis itu tertawa.
“Terlambat, Alex? Butuh tumpangan?”
“Ya. Tentu saja. Terima kasih,” kata Alex gembira.
“Bagaimana restoran ibumu?” tanya Gordon.
Alex tersenyum. “Bagus dan kuharap akan terus begitu,” gumam Alex. “Toko ayah juga sudah dibuka sejak seminggu yang lalu dan cukup ramai, katanya.” Alex membetulkan posisi tasnya.
Tak lama kemudian, mereka sampai di Veritas High. Alex segera melepas helm dan berlari menuju sekolahnya. “Sampai jumpa nanti, Gordon. Terima kasih,” seru Alex. Gordon mengangkat tangannya. Alex masuk bersamaan dnegan bel masuk. Gadis itu mendesah lega. Ia melihat sekeliling dan cukup puas dengan keadaan sekolahnya. Meski tidak semegah sekolah lamanya tapi Veritas High cukup berkelas untuk ukuran sekolah pinggir kota.
“Alexandra?”
Alex terkejut begitu seorang guru memanggilnya. Alex mengangguk ragu. Guru di hadapannya tampak galak dengan wajah cekung berkacamata. Matanya menatap Alex penuh selidik. Guru itu mengisyaratkan Alex untuk mengikutinya. Gadis itu menurut.
“Kau sudah tahu bahwa kau akan masuk divisi D?” tanya guru itu. Alex mengangguk. Guru berkacamata itu memasuki ruang wakil kepala sekolah dan duduk di belakang mejanya. Ia menarik jasnya yang sebenarnya tidak kusut sama sekali. “Melihat latar belakangmu sebagai pelajar paling berprestasi di sekolah asalmu, dengan penuh hormat, saya menyarankan untuk menunda keinginan belajarmu di sekolah ini dan melanjutkannya tahun depan.”
Alex mengangkat alis kaget. “A-apa maksudnya?” sahutnya bingung. “Apa ada persyaratan yang kurang untuk masuk sekolah ini atau…”
“Tidak ada yang kurang,” potong guru itu.
“Lalu kenapa…”
Guru itu mengangkat bahu. “Saya hanya bisa menyarankan, Ms Alexandra. Keputusan selanjutnya ada di tanganmu.”
Alex mendengus. “Saya harus menunda setahun? Jangan bercanda…” Alex melirik papan nama di atas meja. “…Mister Montgomery. Keputusan saya? Tentu saja belajar di sekolah ini, hari ini juga, sekarang juga. Di kelas manapun itu,” tegas Alex.
Mister Montgomery mengangkat bahu kemudian ia mengangkat telepon. “Mister Manyard. Tolong ke ruanganku, segera,” katanya. “Kepala Sekolah sedang dinas ke luar kota. Jadi selama itu, sayalah yang memimpin di sini.” Alex mengangguk tidak peduli.
Tak lama kemudian, seorang guru pria – yang tak kalah seram dibanding Mister Montgomery – masuk ke dalam ruangan. “Anda memanggil saya, Wakil Kepala Sekolah?”
“Tentu saja. Antar Alexandra Parker ke kelas 3-D,” perintah Mister Montgomery.
“Eh?”
Mister Montgomery menatap guru itu tajam. Mister Manyard mendesah sambil mengajak Alex untuk mengikutinya. Alex menurut. “Selamat datang di Veritas High, Alexandra,” seru Mister Montgomery kemudian. Alex mengangguk sambil tersenyum tipis.
Mister Manyard berjalan pelan-pelan dan membuat Alex tidak sabar. Gadis itu bisa melihat kegelisahan di wajah guru itu. “Ada apa dengan kelas 3-D sebenarnya?” tanya Alex akhirnya. “Wakil Kepala Sekolah sampai bilang lebih baik saya menunggu setahun. Apa kelas itu begitu…buruk?”
“Yang terburuk sepanjang 28 tahun aku menjadi guru di sekolah ini,” gumam Mister Manyard.
“Eh?”
Mister Manyard tersenyum iba pada Alex. “Aku sudah mendengar sepak terjangmu, Parker. Siswa terbaik di sekolahmu, nilai yang sempurnya, kau adalah siswa yang turun langsung dari tangan Tuhan,” puji Mister Manyard. Alex mengerutkan kening. Baginya, Mister Manyard agak tidak waras. “Aku harap kau bisa masuk kelasku.”
Dalam hati, Alex bersyukur tidak masuk kelas guru psycho di hadapannya ini.
“Jadi…” Mister Manyard berdiri di depan sebuah kelas. “Ini kelasmu mulai sekarang.”
“Eh?” Alex mengerutkan kening begitu Mister Manyard mundur beberapa langkah. “Anda bukan wali kelasnya?”
“Aku pasti masuk rumah sakit jiwa kalau menjadi wali kelas 3-D…” gumam Mister Manyard sambil menjauh dari kelas itu cepat-cepat.
“Tidak usah menjadi wali kelas 3-D pun, kurasa dia harus masuk rumah sakit jiwa,” gerutu Alex. Ia menarik napas panjang dan membuka pintu kelas yang terdengar keramat itu. “Selamat pagi, semu…” Alex langsung terpaku. “…a…”
Kelas yang suram. Kertas berserakan di bawah lantai, meja-meja yang tidak teratur, papan tulis yang kotor, puluhan pesawat kertas yang menyangkut di ventilasi jendela, dan yang paling buruk adalah para remaja seumuran Alex – yang bertindik – duduk di atas meja dengan kaki terangkat. Alex tak bisa bernapas selama beberapa detik, ia pikir dirinya bermimpi.
Seluruh penghuni kelas itu menatapnya selama beberapa detik, kemudian mereka kembali asyik dengan dunia mereka masing-masing. Sebagian bermain lempar tangkap bola, yang lainnya mengerubungi seseorang yang membuka laptop, dan sebagian yang lain asyik tidur. Alex tidak bergerak dari tempatnya.
Tiba-tiba pintu ruangan kembali dibuka. Kali ini seseorang berpakaian suster masuk ke dalam kelas tersebut. “Baik, Anak-anak. Duduk dan diam,” katanya. “Alexandra Parker akan masuk kelas kalian mulai hari ini.”
Tapi tidak ada yang mendengarkan.
“DIAAAAAMMMM…!!!!” Suster itu berteriak keras. Kelas hening untuk beberapa saat. Suster itu tersenyum puas. “Alexandra, anggap seperti rumahmu sendiri,” kata suster itu sambil tersenyum.
Alex menatap ‘rumah’ barunya sambil meringis. “Ya. Pasti, Suster.”
“Mary, pindahkan tasmu ke depan. Duduklah di samping Taylor, Nak.” Suster itu menunjuk sebuah kursi yang diduduki oleh satu-satunya gadis di kelas 3-D itu. “Dia yang paling aman di kelas ini,” bisik suster itu kemudian.
“Catherine, ini tempat dudukku, kau tahu?” Gadis bernama Mary itu berdiri tidak puas. Alex menelan ludah begitu sadar rok Mary yang begitu pendek membuat laki-laki di kelas itu menatap kaki Mary yang jenjang.
Suster Catherine menatap Mary tajam. “Jaga mulutmu, Gadis Muda,” ujarnya tegas. “Aku tidak ingin melihat namamu di buku hitam lagi.”
Mary langsung terdiam. Ia mengangkat tasnya dan melemparnya ke kursi depan. Mary membanting tubuhnya ke atas kursi sambil menatap Suster Catherine dengan pandangan menantang. Ia menyilangkan kaki, kali ini menatap Alex. “Alexandra, huh?”
Alex mengangguk ragu.
Mary tersenyum sinis.
Merasa semua akan baik-baik saja dengan adanya Suster Catherine, Alex berjalan ke kursinya. Ia menatap anak yang duduk di sampingnya. Ia tahu anak itu, anak yang berada di gubuk kecil di padang rumput. Taylor tidak menatap Alex sedikitpun. Anak itu melempar pandangannya ke arah lain.
Suster Catherine mengabsen anak-anak bengal itu dan mereka menjawabnya dengan ogah-ogahan. Alex tidak bisa bicara apapun. “Baiklah. Kuharap kalian bisa bekerja sama dengan Alexandra.” Suster Catherine menutup buku absennya dan keluar kelas. Alex terpana.
“Eh? Itu saja?” gumamnya pelan.
Kelas itu kembali ramai. Alex melirik Taylor yang duduk di sebelahnya. Gadis itu mendesah saat Taylor beringsut tidur. “Alexandra Parker.”
Alex mendongak. Gadis bernama Mary itu berdiri di hadapannya. “Ya?”
“Menyingkir dari kursiku,” kata Mary tajam.
“Eh?”
Mary menatap Alex galak. Alex agak gentar tapi ia memutuskan untuk bertahan. Mary langsung sadar, Alex bukan gadis biasa. Ia mencengkeram tangan Alex. “Minggir dari kursiku atau…”
“Atau apa?” tantang Alex, berusaha tenang.
Mary mencengkeram kerah seragam Alex. “Kau berani…”
“Kenapa tidak?” potong Alex sambil melepaskan cengkeraman Mary. Ia kembali duduk di bangkunya. “Kita sama-sama murid di sini, ‘kan?” Alex tersenyum penuh arti.
Seseorang berdiri dan menyeringai sambil menatap teman-teman sekelasnya. “Kurasa dia belum tahu peraturan di kelas ini,” katanya. Alex juga mengenal orang itu. Jared, anak yang meminta kail pada Gordon saat Alex pertama kali datang ke kota ini. “Kau sadar kalau kau anak baru, Alexandra?”
Alex mengangkat bahu.
Kali ini Jared kehilangan kesabaran. Ia tidak tahan pada senyum Alex yang tanpa rasa takut itu. Ia merasa terintimidasi karena selama ini, tidak ada orang yang bisa bertahan di kelasnya tanpa rasa takut yang menghantuinya. Jared mencengkeram seragam Alex.
Seisi kelas bersorak menyemangati Jared. Alex mengerutkan kening.
“Kau harus sadar posisimu, Bocah!” Jared menyentakkan tubuh Alex. Gadis itu kembali duduk sambil membetulkan bajunya yang kusut. Jared makin kesal melihat Alex yang tidak bereaksi sedikitpun. “Kau tidak dengar Mary menyuruhmu untuk pindah?!” bentaknya marah.
Alex mendongak dan menatap Mary serta Jared bergantian. “Aku dengar, kok.”
Jared mengepalkan tangannya.
Alex menyadari gelagat buruk dua orang di hadapannya. Gadis itu melipat tangan di atas meja sambil menarik napas. “Dengarkan aku, kalian berdua dan semua yang ada di sini,” katanya. “Tanpa tahu latar belakang kalian, aku mengerti kalian siswa yang seperti apa dan aku tidak ingin mencari masalah dengan kalian, sungguh.” Alex menatap Mary sambil tersenyum. “Tapi aku membayar sekolah ini sehingga aku punya hak untuk memilih, ‘kan? Dan kali ini, aku memilih untuk duduk di sini. Kau tidak bisa memerintahku, Mary.”

Bel istirahat berbunyi. Seisi kelas berbondong-bondong keluar. Alex menepuk keningnya sambil mendesah pelan. Gadis itu melirik Taylor yang duduk di sampingnya, masih tertidur dengan posisi yang sama saat ia datang. “Kutukan apa yang membuat aku berada di sini?” gumamnya pelan. Akhirnya ia mengangkat bahu. “Terserah sajalah, yang penting makan dulu.” Alex membereskan barangnya dan keluar kelas.
Suasana kantin ramai hari itu. Alex mendecak saat melihat bangku kantin sudah penuh terisi. Ia mengikuti antrian di hadapannya. Tiba-tiba seseorang menyeruak masuk dalam barisan. Para siswa memperhatikannya.
“Kalian melihat apa?!” gertak anak itu. Para siswa langsung menunduk.
Alex kembali mendesah, ia kenal anak itu. Regis Hook dari kelas 3-D, singkatnya teman sekelasnya. Regis melambaikan tangannya pada teman-temannya. Mereka berbondong-bondong masuk ke dalam barisan. Alex menggeram kesal. “Semuanya mengantri,” sahutnya tiba-tiba.
Seluruh siswa menatapnya, termasuk kawanan dari kelas 3-D itu.
Alex agak gugup tapi ia berusaha bertahan. “Kalian tidak lihat barisan di sini? Semuanya mengantri dari belakang.”
Jared keluar dari barisan dan mendekati Alex. Seluruh siswa mundur dan meninggalkan Alex dan kawanan Jared di tengah kantin. “Menurutmu siapa kau sampai berani berkata seperti itu padaku dan teman-temanku?”
Alex mengepalkan tangannya.
“Dia anak baru yang tadi, Jared,” sahut anak gendut di belakang Jared. Alex juga mengenalnya. Terrence Willow.
“Parker, ya?” Jared menyeringai.
Alex tersenyum. “Aku senang kau masih mengingat namaku, Jared Clint.” Alex menarik napas.
Jared menggertakkan rahangnya begitu sadar Alex tidak bisa diancam dan Jared bukan tipe orang yang suka memukul lawan jenisnya. Jared tertawa pelan. “Aku tidak mengerti bahasa bocah.” Jared berbalik tidak peduli.
“Walaupun bocah, setidaknya aku masih mengikuti peraturan manusia.”
Jared menghentikan langkahnya.
“Lebih baik daripada manusia yang tidak mengerti peraturannya sendiri, ‘kan?” Alex tersenyum menantang. Ia mendekati Jared dan menepuk pundaknya. “Senang berkenalan denganmu, Jared,” bisiknya pelan. Alex mengambil sebuah roti isi dan membayarnya pada penjaga kantin. Penjaga kantin itu hanya bisa terperangah melihat seorang anak baru bisa menghadapi Jared.
Tiba-tiba Jared menahan pundak Alex yang akan keluar kantin.
Alex tersenyum sambil berbalik. “Ya?”
Sebuah pukulan melayang ke wajah Alex. Gadis itu terjatuh, darah mengucur dari mulutnya. Teman-teman Jared menahan pimpinannya yang mengamuk. Alex hanya tersenyum sambil menyeka darah yang keluar dari mulutnya. “JANGAN BICARA SEMBARANGAN!!!” bentak Jared.
Alex mengangkat bahu. “Di mana harga dirimu?” tanya Alex pelan. Jared terdiam. Alex berjalan lambat-lambat keluar kantin sambil memakan rotinya, seolah tidak terjadi apapun.
“Tenanglah, Jared.” Regis menepuk bahu Jared. “Kenapa kau ini?”
Jared berusaha mengatur napasnya yang tidak beraturan. Ia menendang tong sampah di hadapannya sambil berteriak marah.

Alex mendesah lega begitu bel pulang berbunyi. Ia langsung mengerti situasi yang terjadi di kelas itu. Ia juga langsung mengerti kenapa para guru takut dan enggan mengajar di kelas itu. Jared, si pemimpin kelas yang seenaknya dan ditakuti oleh seluruh siswa. Mary, primadona kelas yang pemberontak. Charlie, setengah Korea yang selalu terang-terangan menatap kaki jenjang Mary. Terrence, si gendut yang tidak bisa kenyang. Regis, hiphopper yang tidak bisa diam. Taylor, yang kerjanya hanya tidur sepanjang hari. Dan anak-anak lain yang tingkahnya bermacam-macam. Satu kesamaan mereka adalah sama-sama bengal dan tidak bisa diatur.
“Menurutmu berapa lama dia akan bertahan?”
Alex menghentikan langkahnya di gerbang sekolah. Ia melirik dan melihat Jared beserta gengnya sedang duduk-duduk di taman sekolah.
“Alexandra itu?” Regis tertawa-tawa. “Kurasa saat ini dia pulang dan menangis pada orangtuanya. Menurutku, besok dia tidak mungkin datang ke sekolah,” katanya setengah mengejek.
Jared mengangguk setuju. “Kurasa hanya gayanya yang tenang di kelas tadi,” sahutnya. “Aku agak kaget saat dia tidak gentar dengan gertakan Mary. Bahkan Mister Montgomery lari kalau Mary sudah melotot.” Jared dan kawanannya tertawa.
“Apalagi dia bisa bersikap tenang di depan Jared yang mengamuk,” sahut Terrence. Regis menatapnya kesal, Terrence langsung pura-pura sibuk makan. “Tapi kurasa dia bukan gadis biasa, Jared.”
“Menurutku kau berlebihan, Terry,” timpal Charlie. “Semua perempuan sama saja. Termasuk Mary dan Alexandra. Ya ‘kan, Tay?” Charlie manatap Taylor yang duduk di sebelahnya. Taylor melengos dengan wajahnya yang datar.
“Tapi kau benar, Rae,” kata Jared pada Regis. “Kurasa besok, kelas kita akan kembali normal.”
Alex menyingkir perlahan. Ia menggertakkan rahangnya kesal. “Aku? Takut?” gumamnya pelan. “Aku sedang melewati masa terburuk dalam hidupku. Haruskah aku takut pada hal seperti itu?” dengus Alex. “Neil, aku kuat dan aku tahu hal itu.” Alex berusaha meneguhkan niatnya seiring dengan langkahnya ke luar sekolah.



*oke, ini cerita mulai random dan gue sendiri masih bingung sebenernya gue mau cerita apa... tapi...yaudahlah hahahahahaha*
0

We Are Us (part 3)

III
Hidup Adalah Perjalanan

Alex menjulurkan kepalanya ke luar jendela mobil. Aroma kota hampir menghilang sepenuhnya. Ia menatap ayahnya yang menyetir. Dadanya kembali terasa perih begitu mengingat ayahnya yang biasa menyetir BMW ataupun Jaguar, saat ini pria gagah itu mengendarai truk pickup Chevrolet berwarna merah keruh. Tapi ayahnya tampak gembira. Sementara Mrs Parker duduk di antara Alex dan suaminya, sesekali ia tertawa saat Mister Parker mengeluarkan guyonannya. Alex tersenyum.
“Kau suka tempat ini, Alex?” tanya Mister Parker begitu Chevrolet itu melewati palang besar bertuliskan ‘Welcome to Larkspur Lane’.
Alex kembali menjulurkan kepalanya. Aroma kota benar-benar sudah menghilang sepenuhnya. Ia melihat padang rumput luas di kanan kiri mobilnya. Beberapa orang menatap Chevrolet-nya dari tengah padang rumput lalu malambaikan tangan mereka. Alex mengerutkan kening.
“Ya. Mereka melambai padamu, Sayang,” kata Mrs Parker.
Alex mengerutkan kening sambil membalas lambaian itu kikuk.
“Kota yang ramah, bukan?” Mister Parker tersenyum.
“Ya.”
Mister Parker menghentikan mobilnya. “Kenapa kau tidak melihat-lihat dulu, Sayang?” katanya. “Kami akan mengurus sesuatu di kantor walikota. Aku yakin kau akan bosan kalau menunggu kami.”
“Aku tidak kenal daerah ini.”
Mrs Parker tersenyum sambil mengelus kepala Alex. “Aku yakin inilah saatnya untuk berkenalan, Alex,” katanya lembut. Akhirnya Alex mengangguk. “Kembalilah saat hari mulai gelap. Tanya saja pada orang-orang sekitar sini. Junnibacken, rumah bata merah.”
Alex mengangguk. “Ya. Tentu saja,” ujar Alex. Ia melambaikan tangan pada mobil kedua orangtuanya yang mulai menjauh. “Junnibacken,” dengusnya pelan. “Apa yang bisa dilihat di sini?” gumamnya pelan sambil mengedarkan pandangannya. Padang rumput itu seolah tidak ada habisnya.
Alex memanjat pagar padang rumput itu. Gadis itu menghirup napasnya dalam-dalam, ia mencium bau rumput yang tak pernah ia rasakan di New York. Saat itu juga ia merasa memiliki kota kecil itu. Alex menyusuri padang rumput yang luas itu. Tiba-tiba ia melihat sebuah sebuah pohon padang rumput itu. Gadis itu mendekatinya begitu sadar sebuah gubuk kecil berdiri di samping pohon itu.
Alex membuka pintu gubuk itu. “Permisi?” gumamnya pelan. Gubuk itu terawat, tidak seperti dugaan Alex yang mengira itu gubuk usang. Ditambah lagi peralatan melukis dan tumpukan kanvas dalam gudang itu, membuat dugaan Alex sirna tak berbekas. Gadis itu melihat-lihat lukisannya dan mendecak kagum. Kertas foto yang berserakan di atas meja, pahatan kayu di atas lemari, serta partitur musik yang berserakan di lantai gubuk, Alex seperti berada di sebuah galeri seni. “Apa-apaan ini?” Alex mengerutkan kening. Begitu sinar matahari masuk melalui jendela kecil gubuk itu, Alex makin yakin dirinya berada dalam galeri. Seluruh dinding gubuk itu dilukis dengan tangan.
“Apa yang kau lakukan di sini?”
Alex berbalik kaget. Ia terpana begitu melihat sosok tinggi menghalangi pintu masuk gubuk itu. “A-aku…”
“Apa yang kau lakukan di sini?!” Nada bicara orang itu meninggi beberapa desibel. Alex mundur beberapa langkah. Sosok itu mendekatinya.
“A-anu… Aku minta maaf…”
Sosok tinggi itu mencengkeram tangannya kasar dan membawanya keluar gubuk. “Aturan darimana yang membuatmu bisa seenaknya keluar masuk gubuk asing?” Orang itu menatap Alex marah.
Alex makin gugup begitu sadar orang itu seumuran dengannya. “A-aku orang baru. Ja-jadi…”
Raut marah orang itu berubah selama beberapa detik namun Alex bisa menangkap keterkejutan dari matanya. “Menurutmu kau bisa seenaknya masuk ke dalam tempat asing sekalipun kau orang baru?” Orang itu masih marah tapi nada bicaranya agak melunak.
Alex masih terdiam.
Orang itu menatap Alex kesal. Ia meninggalkan gadis itu dan masuk ke dalam gubuknya.
Alex mengepalkan tangannya. “Aku Alex!” serunya dari luar. “Dan ngomong-ngomong, aku suka lukisanmu!” Alex menunggu respon orang itu. Namun tidak terjadi apapun. Alex mendesah dan meninggalkannya. “Ah, di mana Veritas High?” tanyanya pada seorang pria besar.
“Di sana. Setelah Blackwater Lake,” kata orang itu dengan logat Rusia yang kental.
Alex mengangguk. “Terima kasih.”
“Anu…apa kau anak Mister Parker yang akan tinggal di Junnibacken?”
Alex tersenyum dan mengangguk. “Ya.”
Orang itu menyalami Alex. “Aku Gordon. Aku tinggal di dekat Blackwater Lake, dekat sekolahmu. Junnibacken juga tidak jauh dari tempatku. Selamat datang di Larkspure Lane, Parker Junior.”
“Alex. Namaku Alex.”
Gordon tertawa. “Selamat datang, Alex,” ulangnya. Ia mengangkat ember-ember yang ia letakkan. “Kupikir orang kota tidak akan mau tinggal di tempat kumuh seperti ini.” Gordon tersenyum riang.
“Menurutku ini tempat yang indah.”
“Senang kau berpikir seperti itu. Aku menyukai tempat ini, kau tahu?”
“Ya. Tentu saja. Sangat jelas.”
Gordon kembali tertawa. “Baiklah… Aku harus pergi, Alex.”
“Perlu kubantu?” tanya Alex saat melihat Gordon yang kesulitan dengan ember-embernya.
Pria besar berkumis itu tertawa. “Ember ini berat, kau tahu?”
Alex tersenyum. “Aku lebih kuat dari yang terlihat, Mister Gordon.”
“Gordon saja.” Alex kembali tersenyum sambil mengangkat ember itu dengan mudah. Gordon bersiul kagum. “Aku membuka tempat pemancingan,” katanya. “Kalau kau sekuat itu, kurasa kau bisa kerja sambilan di tempatku.”
“Mengangkat ember?”
Gordon tertawa. Alex menyukai tawanya. “Bukan. Kasir tentu saja.”
Alex mengangkat alisnya heran. “Hubungannya dengan kuat adalah…?”
Gordon mengibaskan tangannya tidak peduli. “Tidak ada sebenarnya,” katanya. “Berbeda dengan jamanku dulu, sewaktu anak-anak masih mau bekerja untuk mendapat uang. Anak-anak jaman sekarang kerjanya hanya bergantung pada orangtuanya.”
“Aku dan kakakku tidak,” bantah Alex. “Kakakku kuliah di luar negeri. Dia mendapat beasiswa dan kerja sambilan di sana untuk mendapat uang saku.” Alex berusaha meyakinkan Gordon.
Gordon tersenyum. “Dari matamu, aku sudah tahu kau berbeda dari yang lain, Alex,” katanya. “Makanya aku menawarkan pekerjaan ini padamu,” lanjut Gordon sambil tertawa. “Sepertinya kita bisa berteman baik, Alex. Kalau ada masalah, jangan ragu cerita padaku. Oke?”
Alex mengangguk. “Terima kasih, Gordon.”
Tak lama kemudian mereka berdua sampai di sebuah danau yang di pinggir jalan namun dikelilingi hutan. Rumah Gordon tepat di samping danau itu. Terang saja, rumahnya adalah tempat pemancingan. “Jangan sungkan-sungkan, masuklah. Letakkan saja embernya di beranda,” katanya.
Alex memasuki rumah kayu itu. Rumah yang bersih dan hangat. Alex langsung menyukai rumah itu. Ia mengikuti Gordon ke halaman belakang rumahnya. Gadis itu dapat melihat sebuah toko kecil di samping danau. Gordon melambaikan tangannya, mengisyaratkan pada Alex untuk segera menyusulnya. Alex berlari kecil.
“Kau suka tempat ini?”
Alex mengangguk. “Ya. Hangat.”
Gordon tersenyum.
“Mana istri dan anakmu?” tanya Alex. Gordon terdiam, senyumnya lenyap. Alex langsung menyadari kesalahannya. “Maaf. Aku lihat foto keluarga di ruang tamu tadi…” gumamnya menyesal.
“Kanada.”
“Eh?”
Gordon kembali tertawa. Alex mendesah lega, Gordon tidak marah. “Istriku membawa anakku ke Kanada bersama suami barunya,” katanya ringan. “Tentu saja dia lebih memilih pria yang memiliki yacht dan mengarungi lautan daripada pria yang memiliki perahu tua dan mengarungi tempat pemancingan, ‘kan?” ujar Gordon setengah bercanda. Alex tertawa. Gordon membuka pintu tokonya. “Mau memancing?”
Alex menggeleng pelan. “Aku tidak pernah memancing.”
Gordon menepuk kening. “Aku lupa. Kalian, penduduk New York, hanya memancing uang, bukan memancing ikan,” candanya. “Tapi di sini, memancing ikan sama dengan memancing uang.” Gordon tertawa. Ia memberikan alat pancing pada Alex. “Aku biasa berkenalan dengan memancing bersama. Tidak memancing bersama, berarti belum mengenalku.”
“Paksaan yang halus, G-man.”
Gordon berkacak pinggang kesal saat melihat anak laki-laki di pintu tokonya. “Kenapa kau di sini, Anak Nakal?”
Alex terkejut begitu melihat dua tindikan di telinga anak itu.
“Ayolah, G-man. Berikan aku kail andalanmu itu,” pintanya.
“Pulanglah, Nak. Ibumu menunggu, ‘kan?”
Anak itu mendengus. Kemudian ia menatap Alex. “Dia orangnya?” tanyanya setengah meremehkan. Alex menahan kesal. “Dia yang dibicarakan penduduk akhir-akhir ini?”
“Mm-hm. Keluarga Parker.” Gordon membongkar laci kailnya.
Anak itu menatap Alex naik-turun, dari ujung kepala sampai ujung kaki. Alex jengah, ia berusaha tidak menatap anak itu. “SMP kelas berapa?” tanya anak itu, masih pada Gordon.
Kali ini Gordon tertawa terbahak-bahak. “SMP? Dia SMA, Nak.”
“Oh ya? Junior?”
Gordon mengangkat bahu. Anak itu kembali menatap Alex. Gadis itu tidak berniat memberitahu bahwa ia berada di tingkat paling senior tahun itu. “Jadi? Mana kailnya?” tanya anak itu kemudian. Alex mendesah lega.
“Tidak ada kail untukmu hari ini, Nak. Ibumu mencarimu tadi.”
Anak itu mendengus kesal. “Jangan ikut campur urusan keluargaku, G-man.”
Gordon diam saja. Anak itu pun pergi dengan sendirinya.
Alex mengerutkan kening. “Aku mengerti kenapa pendapatmu begitu sinis pada anak seumuranku,” gumamnya pelan.
“Namanya Jared.” Gordon mengajak Alex keluar. Ia melempar kailnya kemudian kail Alex pun ia lempar. “Aku agak kasihan pada ibunya. Ayahnya sudah lama meninggal sehingga Jared bersifat seperti itu.”
Alex mengangguk-angguk. “Dia juga di Veritas High?”
“Tentu saja. Grade 12.”
Alex membatu. Dalam hatinya, ia berdoa agar tidak sekelas dengan anak itu. Tiba-tiba ia teringat dengan gubuk kecil itu. “Gordon, tadi kulihat ada gubuk kecil di padang rumput sebelum masuk kota.”
“Eh?”
“Ya. Dengan atap merah di sebelah pohon kering.”
Gordon terdiam. “Itu gubuk Taylor. Temannya Jared. Dia juga sering ke sini bersama teman-temannya. Nanti kukenalkan kapan-kapan. Tapi kau bisa berkenalan sendiri karena dia juga dari East High.”
Alex tertawa netral. Dalam hatinya, ia kembali berdoa agar tidak perlu berkenalan dengan anak-anak itu.
“Kalau Taylor pendiam, berbeda dengan Jared. Wajahnya selalu menatap orang lain dengan pandangan tajam tapi, percaya padaku, dia jutaan kali lebih baik daripada Jared,” kata Gordon. “Lagipula, Jared sebenarnya anak baik. Hanya saja dia kehilangan arah. Itu saja masalahnya. Harus ada yang menjadi setir untuknya, sayangnya ibunya terlalu sibuk mencari uang untuk anak-anaknya. Meski aku tahu dia sangat menyayangi Jared, tetap saja…”
“Aku mengerti, Gordon,” kata Alex. “Semua orangtua mencintai anaknya. Aku mengerti, Gordon. Sangat mengerti.”

“Terima kasih sudah mengantar Alex pulang, Gordon,” kata Mister Parker begitu Alex pulang ke rumah barunya. “Kau melihat sekolah barumu, Sayang?” Mister Parker menepuk kepala Alex.
“Tidak, dia memancing bersamaku. Dan sekarang, dia bisa membedakan mana yang sepatu dan mana yang ikan,” canda Gordon sambil tertawa keras. Mister Parker mengerutkan kening.
“Hmm, pancinganku tidak begitu bagus hari ini,” gumam Alex malu.
“Lalu ikan dalam ember itu?” tanya Mister Parker sambil tertawa menggoda. Alex merengut. Gordon tertawa. “Terima kasih, Gordon.”
Gordon mengangkat tangannya. “Aku harus pergi. Sampai jumpa, Alex. Mampirlah ke tempatku kapanpun kau mau,” katanya. “Semoga berhasil dengan bengkel dan restoranmu, Parker!”
Mister Parker dan Alex menatap Gordon sampai pria itu menghilang di balik tikungan. Kemudian Mister Parker mengajak Alex masuk. “Bagaimana menurutmu? Kota ini bagus, kan?”
“Ya. Tentu saja,” kata Alex sambil tersenyum. Ia memutuskan untuk tidak menceritakan mengenai anak bernama Jared dan Taylor yang ia temui tadi. “Kurasa tidak buruk juga. Rumah ini juga…” Alex melihat sekeliling. “…lumayan.” Rumah bata itu juga terasa hangat, seperti rumah Gordon.
“Lalu? Kau melihat sesuatu yang menarik?” tanya Mrs Parker dari dapur.
Alex terdiam sejenak. “…tidak juga. Hanya danau.”
Kedua orangtua Alex tertawa. “Itulah akibatnya kalau bergaul dengan Gordon.” Mister Parker duduk di belakang meja makan. “Tapi akan sangat berguna kalau cita-citamu menjadi atlet memancing ataupun ahli perikanan,” candanya.
Alex terdiam. Ia tidak pernah membayangkan kedua orangtuanya ada di sini, di sebuah desa yang jauh dari kota. Ia juga tidak bisa membayangkan bagaimana hal ini akan berlanjut, dengan kedua orangtuanya yang akan selalu berada di rumah dan tanpa Neil. Ia bahkan tidak tahu berapa lama ia akan bertahan.
0

We Are Us (part II)

II
Hidup Adalah Masalah, Hidup Adalah Anugrah

“Mister Gerard menggantikan tempat kapten dengan namaku,” kata Alex sambil mengunyah pizza-nya.
Neil mengerutkan kening. “Mister Gerard…pelatih klub atletik itu?” Alex mengangguk. “Jadi…kau kaptennya sekarang?”
“Belum bisa kupastikan sekarang,” gumam Alex sambil mengangkat bahu. “Tapi kalaupun benar, belum tentu bisa kuterima. Aku sudah grade 12 sekarang. Menurutmu aku bisa santai?”
Neil tertawa. “Jangan terus-terusan belajar. Santailah sedikit,” nasihatnya. “SMA seharusnya jadi masa yang paling berkesan dalam hidupmu. Jangan seperti aku, jangan buat kesalahan yang sama.”
“Menurutmu rantai A di raporku tidak berkesan?” Alex tertawa setengah mengejek.
“Bukan kesan yang seperti itu…” gumam Neil. “Entahlah, apa sebutannya? Kenakalan remaja?” Neil mengangkat bahu.
“Apa harus jadi nakal untuk menjadikan masa SMA berkesan?”
Neil mendesah. Lagi-lagi ia kalah. “Tidak harus nakal. Tapi…” Neil menerawang. “…mungkin kau harus punya cerita untuk anak dan cucumu nanti. Bagaimana kau melewati masa SMA-mu dengan perasaan senang…”
“Aku senang belajar. Jadi kurasa itu bukan masalah.”
Neil tertawa pelan. “Kau anak paling keras kepala yang pernah kutemui.”
Alex mengangkat bahu. “Sudah genetis sepertinya.”
Neil melempar pandangannya keluar jendela. Kosong.
“Neil?” Alex mengerutkan kening. “Neil!”
Neil segera terbangun dari lamunannya. “Ya?”
Alex mendengus. “Kau kenapa, sih?” gerutunya.
Neil tersenyum tipis. “Aku hanya berpikir…” gumamnya pelan. “…rasanya hidup kita terlalu sempurna,” katanya. Ia tertawa pelan. “Hidup itu anugrah, aku tahu,” sahut Neil begitu melihat adiknya akan bicara. “Tapi hidup juga masalah, bukan?” Neil mendesah. “Kalau terus-terusan begini, aku tidak tahu apa aku bisa bertahan kalau masalah tiba-tiba datang…”
Alex mengibaskan tangannya. “Kau pintar. Tidak ada masalah yang tidak bisa diatasi orang pintar,” katanya sambil berusaha membesarkan hati kakaknya. “Lagipula, jangan terlalu dipikirkan. Semua ada waktunya.”
“Kau yakin?”
Alex mengangguk. “Mm-hm.”

“Alex, telepon untukmu!” Neil berteriak dari bawah. Keduanya langsung pulang setelah berkeliling sebentar. Neil menonton TV di ruang keluarga, sementara Alex langsung mengurung dirinya di kamar. “Alex!!!”
“Ya, ya…” Alex menuruni tangganya malas. “Siapa?” tanyanya. Neil mengangkat bahu. “Ya? Dengan kantor kepolisian di sini.”
“Kantor kepolisian? Di sini kantor pemadam kebakaran.”
Alex mengerutkan kening. Kemudian ia tertawa terbahak-bahak. Ia mengenal suara itu. “Heather?” tebaknya. “Sudah kuduga itu kau,” katanya senang. “Siapa lagi yang bisa berkata seperti itu?”
Heather tertawa. Suaranya yang nyaring bahkan bisa didengar oleh Neil. Neil menggelengkan kepalanya sambil mendengus. “Neil ada di rumah sekarang?” tanya Heather.
Neil bukan tipe laki-laki populer. Tapi kalau ada seorang gadis yang menyukainya sepenuh hati, gadis itu pasti Heather. Gadis itu masih memiliki hubungan darah dengan keluarga Parker. Sepupu jauh, begitu kata Mrs Parker. Heather selalu mampir ke tempat Alex saat Neil pulang. Rumahnya memang hanya terpisah beberapa blok.
“Ehh…ya. Tadi dia mengangkat teleponmu, ‘kan?” kata Alex ragu.
Neil mengerutkan kening. “Heather?”
Alex mengangguk geli.
“Apa dia tidak mengenali suaraku lagi?” tanya Heather penasaran.
Alex tersenyum menggoda. “Kau mau bicara dengan Neil?”
Neil menggeleng cepat sambil membuat tanda silang dengan kedua tangannya. Keringat bercucuran dari keningnya. Kacamatanya melorot berkali-kali. Neil tidak suka dengan Heather, sudah jelas. Menurutnya, tidak seharusnya anak perempuan terlalu agresif seperti Heather.
“Bolehkah?” Suara Heather meninggi beberapa desibel, yang berarti rasa senangnya meluap-luap dan tidak bisa ditahan.
“Tentu saja boleh.” Alex menyerahkan telepon pada Neil. Kakaknya melotot galak tapi Alex hanya tertawa.
Neil terpaksa menerima telepon dari Heather.
Alex kembali naik ke kamarnya. Tiba-tiba ponselnya berdering. Alex mengangkatnya begitu tahu ibunya yang menelepon.
“Alex?”
“Ya, Bu?”
“Kau sedang menelepon?”
Alex tertawa pelan. “Tidak. Tapi Neil sedang ditelepon Heather,” katanya sambil terus tertawa. Alex biasa bercerita tentang apapun pada ibunya. Termasuk Heather yang menyukai Neil. Dan ibunya biasa tertawa bersamanya. Namun tidak untuk kali ini, Mrs Parker hanya diam. “Ibu?”
Mrs Parker mendesah panjang. Napasnya terdengar bergetar. Seperti menahan tangis.
“Ibu?” Alex mulai cemas. “Ibu baik-baik saja?”
“Ya, Alex. Ibu baik-baik saja…” desah Mrs Parker. “Kau mengerti kalau hidup ini anugrah ‘kan, Alex?” gumam Mrs Parker. Alex duduk di pinggir kasurnya. Perasaannya tidak enak. “Kau pasti menyadari hal itu ‘kan, Alex?”
“Ya, Bu. Tentu saja…” kata Alex ragu. “Ada apa sebenarnya?”
Mrs Parker kembali menghela napas.
“Kau keberatan kalau kita pindah rumah, Nak?”
Alex mengerutkan kening. “Tentu saja keberatan tapi kalau itu harus, kurasa tidak masalah. Kenapa?”
“Aku tidak tahu bagaimana menjelaskan ini padamu, Alex…” Kali ini Mrs Parker terisak. “Neil sudah dewasa, dia bisa mengerti dengan mudah…”
“Aku sudah grade 12, Bu. Aku bukan anak-anak lagi,” potong Alex. “Ada apa sebenarnya?” desak Alex.
“Kita akan pindah tiga hari lagi.”
“Eh? Kemana? Dan kenapa?”
“Kita akan pindah ke pinggir kota…” Mrs Parker menarik napas. “…karena ayahmu kehilangan pekerjaannya.”
“APA?!”

Alex mengepak barangnya, masih dengan wajah syok. Ia menatap kamarnya. Tiga hari lagi. Ya, tiga hari lagi dia akan meninggalkan kamarnya yang sangat ia sayangi. Juga lantai kayunya, kamar mandinya, seluruh bagian dari rumah itu adalah bagian dari hidupnya. Juga sekolahnya, teman-temannya, Heather, toko roti di seberang jalan, taman di belakang rumah, itu juga bagian dari hidupnya. Semua akan ia tinggalkan dalam waktu tiga hari. Relakah Alex? Tidak. Tapi dia bukan tipe anak yang akan merajuk untuk tetap tinggal dan menghancurkan hati keluarganya demi hidupnya. Dia mau saja menghancurkan apapun, asal bukan keluarganya, bukan kakaknya.
“Alex.”
Alex menoleh sebentar. Neil tersenyum di ambang pintunya. Alex membalas senyum kakaknya. Neil duduk di samping Alex dan mengelus kepala Alex pelan. Alex menghela napas. “Kau sudah tahu akan begini jadinya, ‘kan?”
Neil tersenyum. “Tidak ada yang bisa kita lakukan. Hidup ini anugrah tapi hidup ini juga masalah. Selama kita bernapas, selama itulah kita akan selalu menghadapi masalah…”
“Aku mengerti.”
“Kau baik-baik saja, ‘kan?”
Alex tersenyum lalu mengangguk. “Aku lebih kuat dari yang kau bayangkan, Kakak.” Alex meninju bahu Neil pelan. “Jadi? Kemana kita akan pergi?” tanyanya.
Neil mengangkat bahu. “Pinggir kota, tentunya.”
“Desa?”
Neil tertawa.
“Kuliahmu?”
“Aku bisa kerja sambilan di sana. Asalkan aku tetap mendapat beasiswa, kurasa bukan masalah untuk melanjutkan kuliah di luar negeri,” kata Neil sambil tertawa pelan. “Berusahalah untuk tidak merepotkan ayah dan ibu selama aku tidak ada.”
“Eh? Kau akan pergi?”
Neil mengangguk. “Besok pagi pesawatku akan berangkat. Jadi…” Neil tersenyum. “…malam ini aku akan bilang ‘sampai jumpa, Alex’ karena aku akan berangkat dini hari besok.”
Alex tidak berkata apapun. “Kau akan kembali seperti biasa, ‘kan?” tanya Alex akhirnya.
Neil terdiam. “Keadaan tidak lagi sama, Alex…” gumamnya. “Aku tidak bisa pulang seenaknya kali ini.” Neil menghela napas. Ia berusaha menghindari mata Alex yang berkaca-kaca. “Maafkan aku.”
Alex memeluk Neil. Gadis itu menangis. “Bagaimana aku bisa bertahan tanpamu, Bodoh?” makinya pelan. Neil mengelus punggung adik yang sangat disayanginya itu. “Siapa yang akan menasihatiku kalau aku berbuat bodoh? Siapa yang akan menghentikanku kalau aku mulai berulah?”
Neil mendesah. Untuk pertama kalinya ia mendengar adiknya merajuk seperti itu. “Kau kuat dan kau tahu itu. Kau pasti bisa bertahan, Alex. Ini tidak seburuk yang kau bayangkan.” Alex mengangguk. Neil memaksa Alex untuk menatapnya. “Kau harus ingat satu hal, Alex. Jangan pernah lupa pada dirimu, jangan pernah kehilangan akal, dan kau harus ingat bahwa aku selalu mendukungmu.”
Alex berusaha tertawa sambil menghapus airmatanya. “Itu tiga hal, Bodoh…”
Neil ikut tertawa.

“Neil!”
Alex terbangun saat cahaya matahari menimpa wajahnya. Ia melirik jam di atas mejanya. Gadis itu buru-buru keluar. Ibunya berada di dapur, memasak. Satu hal yang jarang dilakukan Mrs Parker karena biasanya ia berada di dapur restoran bintang lima-nya.
“Ibu! Neil?”
Mrs Parker menyuruh Alex untuk mendekatinya. Mrs Parker memeluk Alex kemudian mencium keningnya. Alex langsung sadar, Neil sudah berangkat. Alex berusaha menahan tangis. Ia biasa menangis di depan Neil dan dia tidak akan menangis di depan ibunya, tidak di depan siapapun kecuali Neil. Alex tidak pernah sudi memperlihatkan kelemahannya di depan orang lain selain orang yang sangat ia percayai.
“Kau baik-baik saja, Sayang?” Mrs Parker tersenyum.
Alex mengangguk. “Aku…akan mandi,” katanya.
Mrs Parker tersenyum maklum. “Ya. Setelah itu kita akan bersiap-siap.”
Alex kembali mengangguk. Gadis itu membanting pintu kamar mandinya kasar. Ia marah tapi ia tidak tahu marah pada siapa. Pada orangtuanya? Ayahnya? Ibunya? Atau Neil? Alex tidak mengerti. Kepalanya panas saat itu.
“Kau baik-baik saja, Alex?” tanya Mrs Parker begitu Alex selesai mandi.
Alex mengangguk. “Ya. Tentu saja.”
Keduanya terdiam. Mrs Parker memasukkan barang-barang ke dalam dus, begitu juga dengan Alex. Suasana hening saat itu. Hati Alex perih begitu ia mengingat saat ruangan itu selalu ramai dengan tawa keluarga Parker, saat semuanya masih baik-baik saja.
“Tidak ada yang salah dengan ayahmu, Sayang…” gumam Mrs Parker setelah bermenit-menit dalam keheningan. “Perusahaannya kolaps dan itu bukan salahnya…” kata Mrs Parker. “Salah satu klien perusahaan ayahmu menipunya dengan cara yang sangat licik. Jangan pernah kau salahkan ayahmu, ya?”
Alex tersenyum. “Tidak ada yang perlu disalahkan. Aku mengerti, kok.”
Mrs Parker menepuk kepala Alex. “Aku bangga memilikimu, Nak.”
Alex tersenyum. “Kita akan baik-baik saja, ‘kan?”
“Tentu saja, Alex. Tentu saja.” Mrs Parker tertawa pelan. “Kami sudah mengatur sekolahmu di sana. Meski sebuah kecil, Larkspur Lane punya sebuah SMA swasta yang…”
“Sebuah?”
Mrs Parker tersenyum. Alex terdiam sejenak kemudian ia tersenyum tipis. “Walaupun tiga kelasnya penuh, untunglah salah satunya masih bisa menampung seorang siswa.”
“Jadi hanya empat kelas?”
Mrs Parker mengelus rambut Alex. “Ini kota kecil, Sayangku…”
“Lalu?”
“Apa?”
“Pekerjaan kalian?”
Mrs Parker tersenyum. “Ayahmu akan membuka toko bangunan dan sebuah bengkel karena katanya di sana dekat dengan tanah pertanian. Dan aku…” Mrs Parker tersenyum bangga. “Aku akan membuka bar di sana. Dengan restoran pasta.”
Alex tersenyum bangga. Orangtuanya yang kuat dan teguh, seperti dirinya.
“Kau tidak keberatan ‘kan, Sayang?”
“Keberatan? Tidak. Semua akan baik-baik saja.”
Mrs Parker tersenyum melihat anak bungsunya yang selalu ia banggakan. “Wajahmu mirip denganku, kata orang-orang. Tapi sifatmu yang tegar dan kuat itu, sangat mirip dengan ayahmu, Nak. Itu membuatku bangga.”
“Kalau keras kepala? Apa itu turunan ayah juga?” goda Alex.

(to be continued)
0

WE ARE US

ini 'cerita' gue yang pertama hehehe. beberapa orang yang pernah baca protes sama gue, "kok setting-nya nggak di sini aja sih?". hmm, gue nulis ini buat keren-kerenan aja kok, jadi yaaaa...sekali-kali mengkhayal agak tinggian boleh dooooong...
and...this is the first part


WE ARE US

I
Awal yang Pendek

Mr dan Mrs Parker tinggal di New York di Jalan East 56th nomor 2 di sebuah rumah bergaya country yang nampak tua. Mereka mempunya dua anak yang sangat mereka banggakan: Neil dan Alexandra. Neil si kakak, 20 tahun, menempuh studinya di luar negeri melalui jalur beasiswa prestasi. Sementara Alexandra – yang lebih sering dipanggil Alex – baru menyelesaikan grade 11-nya dengan nilai dan prestasi yang membuat para orangtua lain menginginkan anak seperti gadis berambut cokelat gelap itu.
Meski jarang bertemu, kedua anak Mister dan Mrs Parker sangat rukun. Neil selalu melindungi Alex dan Alex selalu membuat Neil tertawa, simbiosis mutualisme kata orang-orang. Neil tidak banyak bicara dan cenderung tenang. Matanya dibingkai oleh kacamata. Dia berpostur tinggi kurus, saking tingginya terkadang Neil agak membungkuk ketika berjalan. Dia menyukai warna biru dan hampir selalu mengusahakan warna itu dalam pakaiannya. Tipe laki-laki yang sulit mendapat pacar dan selalu memiliki jerawat di ujung hidungnya. Neil tidak pernah mempermasalahkan hal-hal di atas, kecuali dua hal terakhir. Sementara Alex supel dan ceria. Berbeda dengan kakaknya yang bermata biru seperti Mister William, wajah Alex menurun dari darah latin ibunya. Tubuhnya tidak begitu tinggi tapi dia nekat ikut klub atletik dan akhirnya menjadi andalan klub di cabang high jump karena ketekunannya saat berlatih. Alex juga menguasai berbagai cabang olahraga lain. Tenis, aikido, senam, juga skating, semua ia kuasai dengan baik. Berbeda dengan Neil yang agak tertutup, Alex cukup populer di kalangan klub olahraga sekolahnya. Keduanya cukup berbeda untuk dikatakan sebagai saudara kandung.
Tapi, dalam kepala mereka, lain lagi ceritanya. Keduanya sering memikirkan hal yang sama, seperti anak kembar. Keduanya sering mengutarakan pendapat yang sama. Bila menonton kuis di televisi, keduanya pasti menjawab berbarengan dengan jawaban yang sama. Alex dan Neil juga seringkali kesulitan menghubungi ponsel satu sama lain karena keduanya selalu menelepon di saat yang bersamaan.
Ayah mereka, Mister William, adalah seorang CEO di sebuah perusahaan asing, cara lain untuk menyebut kaya-raya. Mrs Anita adalah wanita anggun berdarah latin, pemilik restoran bintang empat, yang terkenal dengan kedermawanannya karena sering mengadakan acara penggalangan dana. Setiap perkataan Mrs Anita seolah-olah ditujukan agar seluruh dunia menatapnya. Jadi bisa dibilang Mrs Anita sangat cantik dan kharismatik.
Tak dapat disangkal bahwa Mister William dan Mrs Anita sangat kontras. Mister William dengan tinggi 1,8 meter dan tubuh gagah seperti tentara dan rambut cokelat cepak. Sementara Mrs Anita harus puas dengan tubuh 1,56 meter-nya dengan rambut hitam bergelombang. Bila masuk sebuah ruangan, seluruh mata akan memandang pasangan itu, seolah keduanya memancarkan feromon. Untungnya, keduanya tidak keberatan diperlakukan seperti itu.
Mister dan Mrs Parker sangat bangga dengan pekerjaan mereka tapi mereka lebih bangga pada anak-anak mereka. Neil tidak harus menempuh jalur beasiswa jika ia mau karena ayahnya bahkan bisa membiayai empat orang mahasiswa sekaligus. Dan Alex bisa saja hidup glamor seperti gadis-gadis populer di sekolahnya, belanja setiap hari, dan merengek pada ayahnya untuk mengendarai Ferrari merah keluarganya ke sekolah. Mister dan Mrs Parker tidak bisa membayangkan jika anak mereka seperti itu. Karenanya, hal yang paling membuat mereka bangga adalah kenyataan bahwa kedua anak mereka adalah anak baik yang selalu berusaha untuk tidak merepotkan kedua orangtua mereka.
Neil sangat menyayangi Alex, itu merupakan bonus bagi Alex. Meski Alex juga menyayangi Neil tapi tetap saja rasanya sulit untuk membalas semua perlakuan Neil padanya. Neil selalu membelikan Alex bermacam-macam barang. Bila Alex ulang tahun, Neil selalu menabung sejak berbulan-bulan sebelumnya sehingga hadiahnya hampir selalu lebih mahal dari hadiah Mister dan Mrs Parker. Dan yang paling membuat Alex menyayangi Neil adalah kakaknya tidak pernah ragu untuk pulang saat Alex berkata ingin bertemu dengannya.
“Siapa yang dapat tiga penghargaan hari ini?” Neil mengacak rambut Alex saat adiknya pulang dari sekolah bersama Mrs Parker.
Alex berusaha menghindar meski ia suka diperlakukan seperti itu.
“Apa? Tiga penghargaan? Siapa?” tanya Mister Parker begitu keluar dari kamar mandi. “Anakku yang mana yang mendapat tiga penghargaan hari ini?” Mister Parker menatap istrinya. “Alex, ya? Sini, kemari, Nak.”
Alex tampak ogah-ogahan karena ia hapal yang akan terjadi berikutnya. Mister Parker menghujaninya dengan ciuman di kening dan pipi. Tapi Mister Parker tidak peduli pada Alex yang malas, ia menarik Alex dan melakukan ‘ritual ciuman selamat’-nya. Neil dan Mrs Parker tertawa.
“Janjimu dengan Jenny dua jam lagi, Mister Perfect,” kata Mrs Parker bercanda sambil melirik jam tangannya. Jenny adalah nama klien baru Mister Parker.
Mister Parker segera menyambar jasnya lalu mencium istrinya. Tak lama kemudian, Mrs Parker pun bersiap keluar. “Aku harus pergi, restoran sedang ramai hari ini. Kalau mau makan, telepon delivery service saja.”
“Orang-orang delivery tidak akan percaya ibu kita punya restoran,” gumam Neil sambil tertawa pelan. “Berapa kali seminggu kau menelepon delivery pizza?” tanyanya kemudian.
“Entahlah. Mungkin tiga atau empat kali. Bisa juga hampir tiap hari kalau orang-orang kelas atas itu sedang gencar mengadakan pesta.” Alex tertawa. “Bagaimana studimu? Kapan selesai?” Alex menuangkan jus ke dalam gelasnya.
Neil mencibir. “Jangan sembarangan,” katanya. “Jadi mahasiswa itu sulit,” elak Neil.
Tiba-tiba seekor anjing menghampiri keduanya. Anjing berbulu putih yang sudah menjadi bagian dari anggota keluarga Parker. Anjing Rottweiler bernama Alan itu sangat jinak pada seluruh keluarga. Kecuali Neil.
“AAAAAAHHHHHH!!!!” Jeritan Neil melengking.
Alan menggigit sebuah baju berwarna biru dan mencabik-cabiknya dengan puas.
Neil berusaha menarik baju kesayangannya itu tapi berakhir dengan geraman galak Alan. Neil mendecak kesal. “Kenapa kau tidak buang saja anjing itu?” gerutu Neil. Ia mengerut begitu mendengar Alan kembali menggeram seolah mengerti perkataan Neil.
“Membuang Alan sama saja membuangku,” gerutu Alex.
Neil melempar adiknya dengan bantal sofa. “Jangan sok melankolis,” ejek Neil. “Bagaimana kalau kita ubah saja namanya?”
Alex mengerutkan kening, tampak keberatan. “Kenapa? Aku suka dengan nama Alan,” bela Alex kesal.
“Rottweiler itu anjing pertama yang dikembangbiakan bangsa Romawi.” Neil memulai argumentasinya. “Dia juga anjing favorit tentara dan polisi. Gigitannya paling kuat diantara anjing jenis lain. Bagaimana dia hanya punya nama biasa seperti ‘Alan’?”
Alex merengut. Ia membaca majalah dan berlagak tidak peduli, meski ia juga memikirkan perkataan Neil.
“Aku punya nama yang bagus untuk ‘Alan’-mu,” kata Neil. Alex melirik kakaknya. “Cerberus.” Neil tersenyum bangga. “Tidak ada anjing penjaga yang lebih kuat dari peliharaannya Hades.”
Alex mendengus. “Bagaimana bisa anjing lucu seperti Alan menjaga neraka? Kecuali yang masuk neraka itu Tinkywinky dan Dipsy, itu pengecualian.” Alex kembali membaca majalahnya begitu sadar pembicaraannya dengan Neil tentang nama anjing akan terus berlanjut tanpa bobot.
Tapi Neil tidak menyerah begitu saja. “Ayolah, Pendek,” katanya. Alex melotot kesal dan kali ini Neil yang tidak peduli. “Kalau dia jinak padaku, aku akan memberinya nama keren seperti Nero atau Tiberius, dua kaisar besar bangsa Romawi.”
Alan menggonggong. Neil meleletkan lidahnya pada anjing putih itu.
“Alan benar, Jerawat,” balas Alex. Neil diam kali ini. “Tiberius dan Nero bukan nama yang menyenangkan. Tiberius, tidak punya kesopanan. Nero, pembunuh ibu dan istrinya, juga menghancurkan kota Roma.” Alex tertawa mengejek. “Menurutmu itu nama ‘keren’ untuk anjing baik seperti Alan?”
Neil menggigit bibir. Rupanya ia melupakan sisi Alex yang gila sejarah. Ada sesuatu pada diri Alex yang membuatnya enggan berdebat dengan adiknya itu. Tapi kali ini Neil nekat.
“Oke, oke. Kalau bukan kaisar Romawi mana pun.” Neil melenguh seperti sapi. “Mungkin nama yang lebih ‘anjing’ seperti hmm…” Neil berdehem sebentar. “Sparky atau Spike, mungkin.”
“Semua orang akan tertawa begitu mendengar nama Sparky,” keluh Alex. “Dan Spike? Ayolah, Neil. Tidak bisakah kau lebih kreatif?” Alex menghela napas. “Kau tahu, Neil? Alan berarti tampan dalam bahasa Celtic.”
Kali ini Neil tertawa keras. “Menurutmu Alan tampan?”
Alex menurunkan majalahnya kesal. “Lagipula,” katanya. “Alan anjing dewasa sekarang. Menurutmu dia mau dipanggil dengan nama barunya begitu saja? Alan bukan aktor yang mudah mengganti nama mereka dengan nama panggung bodohnya. Alan itu anjing. Bagaimana caranya membuatnya menerima nama barunya begitu saja?” Alex menatap Alan. “Ya kan, Alan?”
Alan menggonggong.
“Cobalah kau panggil dia dengan Sparky atau Spike.”
Neil tidak mau.
Alex tersenyum penuh kemenangan.
Kali ini Neil kalah dan ia kesal. Seumur hidupnya, Neil TIDAK pernah menang saat berdebat dengan adiknya. Dia juga tidak pernah tega untuk menolak permintaan adiknya, apapun bentuknya. Tapi Neil hanya manusia biasa. Kadang dia tidak mengerti mengapa dia begitu menyayangi Alex.
Bila sebagian kakak sering bertengkar dengan adiknya, adalah pengecualian bagi Neil dan Alex. Walaupun kesal ataupun marah, Neil tidak akan bisa bertahan lebih dari 15 menit. Selepas itu, ia akan melupakan semuanya dan kembali bercanda dengan Alex. Seperti yang terjadi saat ini. Setelah lama berdebat, akhirnya Neil mengajak Alex keluar untuk makan.
Keduanya berjalan kaki. Meski restoran pizza terpisah beberapa blok dari rumahnya, Alex dan Neil termasuk kategori anak yang sehat, sangat sehat. Kalau teman-teman mereka menderita karena obesitas, tidak begitu dengan kakak beradik itu. Alex dan Neil menjadi sangat sehat karena klaustrofobia yang membuat mereka benci tempat sempit seperti lift. Di kota New York yang memiliki banyak gedung bertingkat, orang-orang tidak akan pernah menemukan kedua anak itu di lift manapun di kota itu. Alex dan Neil selalu naik turun tangga, terkadang mereka naik lima sampai enam lantai. Rekor keduanya adalah sepuluh lantai, mereka tidak bisa bicara selama 10 menit setelah itu. Hal itu membuat keduanya sebugar kutu. Bahkan kutu harus menjalani training fitnes untuk sebugar keduanya. Tapi sebugar apapun Alex dan Neil, keduanya tidak bisa bergerak secepat lift sehingga keduanya sering terlambat. Itu bisa membuat kedua orangtuanya marah tapi Mister dan Mrs Parker lebih pengertian dari yang mereka duga.



ini first part-nya dan baru prolog.
yeeeep, prolog-nya ada 3 bagian. hahahahahaha, diniatin banget yaaaa. habis gimana dong? gue ngerasa bakal menarik sih.

kenapa judulnya 'we are us'?
hmm...tunggu kelanjutannya, pasti bisa dimengerti kenapa gue ngasi judul 'we are us'..
Back to Top